Minggu, 09 Agustus 2009

Cerpen Misteri: Istana di Atas Air

Cerpen: Ayah

Jantung Mimin berdetak kencang. Hujan makin deras. Air mulai menggenangi dasar perahu. Ia sudah letih mendayung, lelah berteriak minta tolong, tapi perahu bukan menepi, malah ke tengah. Sulit menerka ia berada di bagian mana sekarang. Pandangannya terhalang tirai hujan yang sangat rapat. Malam makin pekat. Mimin pasrah. Sejengkal lagi air hujan mencapai bibir perahu.

Andai tadi aku bisa menahan diri, sesal hatinya. Mimin lari cuma karena persoalan sepele, berebut acara televisi dengan Santi, adiknya. Ayah yang capek seharian menjala ikan merasa terganggu. Sebagai saudara tua Mimin mestinya mau mengalah. Mimin protes kenapa mesti saudara tua terus yang mengalah? Ini nggak adil. Protes Mimin berujung pada bentakan ayah. Mimin lari ke sungai, mengayuh perahu ke tengah sungai.


Air telah mencapai bibir perahu. Mimin tak punya pilihan lain. Daripada mati konyol, lebih baik nekad. Mimin melompat, namun diguyur hujan sekian lama membuat sendi-sendi tubuhnya terkunci. Dalam situasi seperti ini pelajaran berenang dari ayah tak berguna lagi. Apakah ajal telah menjemputku? batinnya sesak. Pada saat kritis, tiba-tiba muncul seberkas cahaya keemasan yang sangat terang. Cahaya yang memancar dari sebuah bangunan megah yang berdiri kokoh di atas air. Mimin sempat melihatnya beberapa detik saja, setelah itu…
***


“Selamat datang di istanaku,” sesosok pemuda tampan berpakaian layaknya seorang pangeran dalam cerita klasik di layar kaca, berdiri gagah di sampingnya. Mimin bangkit namun terempas kembali akibat nyeri yang mendera sekujur tubuhnya.
“Jangan bergerak dulu, tubuhmu masih lemah,” cegah pemuda itu.
“Aku ada di mana?” tanya Mimin lirih.
“Kamu berada di istanaku,” jawab pemuda itu.
“Istana?!” Pemuda itu mendekat. Mimin ketakutan.
. ”Tenanglah, kamu aman di sini.” Pemuda itu menyungging senyum manis.
“Aku mau pulang,” Mimin menangis.
“Istirahatlah dulu.” Seperti dihipnotis, kantuk tiba-tiba menyerang. Mimin terlelap.
Ketika bangun, pemuda itu tak ada di sampingnya. Mimin lega bisa menggerakkan tubuhnya. Segera ia turun dari ranjang empuk dan melangkah di atas ubin putih mengkilat, tanpa alas kaki. Seorang perempuan sebaya ibu menyambutnya di ambang pintu.
“Mau ke mana?” tanya perempuan itu.
Langkah Mimin surut, “Saya mau pulang.” pinta Mimin.
Perempuan itu pergi begitu saja.
Pintu di depan Mimin terbuka pelan, entah siapa yang membukanya. Ia melangkah masuk. Sebuah ruangan pengap dan lembab. Astaga, ini dapur rumahku! Mimin bersorak girang. Ajaib! Tiba-tiba saja aku sudah berada di sini, di rumahku sendiri.
Tapi di mana ayah, ibu dan Santi? Mimin melangkah ke ruang tengah. Jam sembilan malam. Sepi sekali. Biasanya sekeluarga kumpul di sini, ngobrol sambil nonton televisi. Mimin gelisah. Ruang depan juga lengang. Pintu terkunci dari dalam, berarti mereka ada di rumah. Mimin ke kamar ibu. Kosong. Kamarnya sendiri yang ditiduri dengan Santi juga kosong. Mimin keluar menerobos sisa hujan dengan hati kalut ke rumah Pak Manto, tetangga sebelah. Semoga beliau tahu ke mana keluarganya pergi. Tapi sampai pegal mengetuk pintu tak ada jawaban, padahal lampu di ruang tamu menyala terang. Mimin pindah ke tetangga sebelahnya lagi. Sama! Begitu seterusnya. Semua pintu rumah tetangganya ia gedor keras-keras. Ke mana semua orang sekampungnya?
Kembali ke rumah. Hujan turun sangat deras disertai ledakan petir bersahutan. Mimin mengurungkan niatnya melanjutkan pencarian. Ada apa sebenarnya? batinnya dalam tangis.
“Tinggallah bersamaku.” Pemuda tampan itu tiba-tiba ada di sampingnya.
“Ke mana semua orang?” tanya Mimin cemas.
“Ada, hanya kamu tak bisa melihatnya lagi,” ujar pemuda itu.
“Apa maksudnya?!” pekik Mimin.
“Tempatmu berbeda. Kamu bukan lagi seperti mereka.”
“Memangnya aku di mana?” Mimin lemas mendengarnya.
“Di tempat lain, bersamaku. Terimalah semua dengan lapang dada.”
“Kamu bohong!” Mimin histeris, menggedor pintu dapur kuat-kuat tapi tangannya tak menyentuh apa-apa. Mimin menggedor ruang kosong. Tiba-tiba sebuah kekuatan menyedotnya. Tubuhnya melayang beberapa saat lalu terbanting keras, di halaman istana yang dingin.
“Percayalah, di sini kamu akan bahagia selamanya,” pemuda tampan itu memapahnya berdiri. “Kamu tak perlu lagi berebut televisi dengan adikmu. Kamu bisa mendapatkan apa saja. Bisa menyantap hidangan apapun yang kamu suka. Pakaian bagus. Perhiasan mewah. Uang banyak. Semuanya.”
Mimin menggeleng.
“Temani aku menjaga istana ini. Aku sendirian di sini. Aku tak tahu di mana keluargaku berada. Kami terpisah ratusan tahun lamanya.”
“Aku tahu kamu punya kekuatan untuk menahanku di sini. Tapi aku punya keluarga. Mereka semua menyayangiku. Mereka pasti sedih. Tolong, biarkan aku pulang” Mimin memohon.
Hujan di luar istana reda. Permukaan air sungai beralun kecil terhampar mengelilingi istana megah itu. Sejauh mata memandang hanya ada air.
Pemuda tampan itu berdiri, menatap Mimin yang bersimpuh sejengkal di depannya. “Baiklah,” ucapnya pelan, “Aku mengalah. Kamu boleh pulang.”
Wajah Mimin seketika riang.
“Tapi dengan satu syarat…:”
“Syarat?!” Mimin tercekat.
“Tepat purnama bulan depan kamu sudah harus kembali ke sini…”
“Apa?!” Mimin tersentak.
“Kamu tahu perempuan tadi. Ia penduduk sekitar sungai ini. Ia tenggelam belasan tahun lalu. Ia akan tinggal selamanya di sini.”
“Jadi kamu akan tetap memisahkan aku dari keluargaku ?”
Pemuda itu diam, tapi sorot matanya berucap tegas, tak terbantah.
“Kamu tega!”
“Tentukan sekarang sebelum aku berubah pikiran.”
“Aku benci kamu!”
Pemuda itu menatap dingin. “Diam berarti setuju.”
“Baik!” jerit Mimin gusar. “Aku pulang sekarang!”
“Ingat, waktumu hanya satu purnama!”
***
Purnama satu bulan kemudian. Mimin masih belum bisa memercayai kejadian yang dialaminya sebulan lalu. Menurut keterangan penduduk sekitar sungai Mimin menghilang satu minggu lamanya. Padahal Mimin merasa cuma semalam, sampai tubuhnya ditemukan terapung tak sadarkan diri di tepi sungai. Sebuah pertanyaan besar bagi penduduk sekitar sungai, apakah saat kepergiannya itu Mimin benar-benar tenggelam? Kalau benar, mana mungkin setelah tenggelam selama seminggu ia ditemukan masih hidup? Tapi kalau tidak tenggelam, lantas ke mana Mimin selama itu? Pencarian yang dilakukan saat itu tak membuahkan hasil. Semua tetap jadi sebuah misteri.
Sampai hari ini Mimin belum cerita kepada siapapun. Kisah tentang istana indah dan pemuda tampan pemiliknya serta perempuan tua itu pun disimpannya rapat-rapat, dan ia kembali menjalani kehidupan seperti biasa.
Malam ini Mimin resah. Sudah satu purnama. Janji itu harus ditepati. Kalau tidak, pemuda itu dengan kekuatannya pasti akan memaksanya kembali ke istana. Tapi sekarang Mimin berubah pikiran. Mimin tak mau, sebab kembali ke sana berarti… mati!
Saat Mimin memanaskan hidangan untuk makan malam….Praaang!!! Piring di meja makan mendadak pecah berkeping. Pertanda apakah ini? Belum lama Mimin memikirkannya, keanehan lain menyusul. Api di perapian tiba-tiba membesar nyaris menjilat kakinya, untung Mimin segera menghindar, dan ketika ibu muncul di dapur tahu-tahu api kembali seperti semula sehingga keanehan itu luput dari mata ibu.
“Ada apa, Min?” tanya ibu.
“Ehm…kena percikan api,” jawab Mimin gugup.
“Makanya hati-hati,” ibu kembali ke ruang tengah, untuk mengemas ikan tangkapan ayah yang mau dijual besok.
Mimin baru mau melanjutkan pekerjaan ketika terdengar keributan di ruang depan berikut suara tangis ibu. Mimin lari ke depan. Beberapa orang tetangganya berkumpul di situ
dengan wajah panik.
“Ibu, ada apa?!” kalut Mimin.
“Santi…” ucap ibu di sela isakan.
“Santi kenapa Bu?!”
“Tenggelam, Min. Adikmu tenggelam di sungai,” jelas ibu.
“Tenggelam?! Bukankah tadi nonton tivi?” tubuh Mimin gemetar.
Salah seorang tetangga melihat Santi berperahu ke tengah sungai. Tak lama kemudian terdengar benda tercebur ke sungai, dan perahu yang ditumpangi Santi terbalik.
“Saya nggak tahu dia keluar. Wong barusan nonton tivi sama saya,” tutur ibu dalam isakan.
Mimin menghambur ke sungai. Tak ada yang bisa menghalangi langkahnya. Ia seperti mendapat kekuatan lebih. Dihampirinya perahu yang tertambat di situ, entah milik siapa, lantas mengayuhnya ke tengah.
“Kembalikan adikku…!” pekik Mimin. “Santi tak boleh mati! Mestinya aku yang mati! Aku yang punya janji!” seperti kesetanan Mimin berteriak sampai suaranya serak.
Seberkas cahaya keemasan muncul dari satu titik berpendar ke segala arah, menyusul sebuah bangunan megah layaknya istana para raja zaman dulu berdiri angkuh di atas air beberapa meter di depan Mimin. Dari balik pintu besar yang terbuka muncul dua sosok bayangan. Pemuda tampan pemilik istana itu dengan…Santi! Entah kenapa perahu yang dikayuh Mimin sulit mendekati istana seolah berjarak puluhan kilometer, padahal hanya terpaut beberapa meter saja. Sampai Mimin letih, lalu diam pasrah dalam tangis.
“Kembalikan Santi,” ujarnya tersendat.
“Kamu ingkar janji,“ ujar pemuda tampan di sebelah Santi, dingin.
“Tapi kamu tahu kan, sekarang aku datang untuk memenuhi janjiku.”
“Terlambat. Aku telanjur tak percaya padamu.”
“San…tempatmu bukan di sini, pulanglah,” Mimin mengiba.
”Kakak saja yang pulang, bilang sama Ayah dan Ibu, Santi tak akan kembali,” ujar Santi dengan tatapan kosong.
“Jangan, Santi,” cegah Mimin.
“Ayolah Kak, biarkan Santi memilih yang terbaik buat Santi. Percayalah, mulai sekarang tak akan ada yang mengganggu Kakak. Relakan Santi ya, Kak. Santi pasti bahagia di sini. Apa lagi ada seseorang yang bersedia mendampingi Santi. Sudah lama Santi merindukan kehadiran seseorang, yang tak pernah Santi dapatkan selama ini. Di sekolah tak ada yang mau melirik Santi, karena Santi tak secantik Kakak, karena keluarga kita tak punya apa-apa.”
“Kamu salah, San. Banyak yang menyukaimu. Kamu cantik. Kamu baik…”
“Cukup, Kak,” gadis itu terisak. “Santi bosan mendengar kata-kata hiburan itu. Kakak pulanglah. Santi harus masuk ke istana. Maafkan Santi, Kak,” Santi berbalik, melangkah dalam rangkulan pemuda tampan itu.
Putus asa, Mimin membuang dayung di tangannya, lalu mencebur ke sungai yang dingin, berenang mendekati istana. Santi harus diselamatkan. Santi tak boleh mati. Mimin tahu hari-hari di rumah memang selalu diwarnai pertengkaran kecil dengan adiknya itu, namun semuanya selalu dapat diselesaikan dengan baik. Mimin tak ingin kehilangan dia. Mimin tak sanggup membayangkan hari-hari tanpa Santi. Ayah dan ibu pasti sedih. Kebahagiaan yang sudah tertata sekian lama akan porak poranda tanpa kehadiran gadis manis itu. Mimin tak sanggup menerima kenyataan itu. Santi harus pulang.
Namun seperti halnya mendayung perahu, Mimin gagal mendekati istana. Sampai tenaganya terkuras habis. Sesaat Mimin melihat pintu istana tertutup rapat. Santi telah berada dalam istana dengan pemuda tampan itu.
“Santi…!!!” Mimin menangis. Meraung. Deru hujan melumat suaranya hingga tak bersisa. Menatap sekeliling hanya terlihat hujan sangat deras menikami sungai. Ia tak tahu lagi ke arah mana harus menepi. Semua pekat. Semua putih. Yang bisa dilakukannya hanya menggerak-gerakkan kaki agar tak tenggelam. Lama. Sampai ia merasakan kedua kakinya tiba-tiba lumpuh tak bertenaga. Mimin lelah. Sangat lelah. Suara kecilnya hanya mampu menjeritkan sebuah kata.
“Tolooong…!”


Tidak ada komentar: