Oleh Ayah
Cerpen ini dimuat di majalah Aneka Yess! (Edisi dan tanggal terbit lupa karena majalah bukti pemuatan hilang. Adakah pembaca setia Aneka Yess! yang bisa bantu melacaknya?)
Alan…
Biasanya, setiapkali dibangunkan Ibu dari tidur lelapnya di samping gundukan karung-karung plastik berisi sayur mayur nggak pernah ada problem. Setiap ucapan Ibu selalu disimaknya dengan senang hati kendati mata merahnya setengah terkantuk. Tapi sore ini lain. Alan menggerutu ketika dibangunkan. Ibu tentu saja heran melihat gelagat itu.
“Kamu kenapa sih, Al? Sakit?”
Alan menggeleng lesu.
“Lantas?” Tanya Ibu lagi.
“Barusan Alan mimpi.”
Mimpi apa sampai uring-uringan begitu?!”
“Mimpi berantakan!” cetusnya kaku.
“Berantakan bagaimana?” bingung Ibu.
“Ya berantakan. Masa dalam mimpi itu Alan berubah jadi cowok minder, mana di depan cewek lagi. Enak aja! Kapan di alam sadar Alan pernah begitu? Nggak pernah, kan?” gerutunya pada diri sendiri.
Ibu tengah menata sayuran biar tambah segar dan enak dilihat. Sesaat seorang Ibu muda datang menawar sayuran, segera Ibu melayaninya. Agak malas Alan berdiri, melipat beberapa karung plastik, lalu pamit pada Ibu. Pasar sore itu mulai terlihat ramai.
“Ngayuh sepeda hati-hati, nggak usah ngebut, berbahaya,” pesan Ibu.
Dalam perjalanan pulang, mimpi itu kembali melintasi benaknya.
Nggak beda dengan umumnya mimpi yang mampir dalam tidurnya selama ini. Mimpinya itu adalah Yuni, salah seorang pelanggan sayur yang lumayan akrab dengannya. Gadis imut yang diam-diam dikaguminya bahkan dicintainya setelah rIbuan sore meneteskan setitik demi setitik kasih suci dalam hatinya, perasaan yang tak pernah dicurahkan dan lebih suka dipendam, sebab Alan sudah merasa cukup dengan harapan-harapan yang tinggi, memiliki gadis itu, misalnya. Keyakinan yang nggak membuatnya terbeban setiapkali bertemu Yuni, bahkan dinikmati setiap detik dengan perasaan sukacita. Begitu pun dengan mimpi demi mimpi yang membungai tidurnya. Kecuali mimpi tadi tentunya. Habis seenaknya saja mengubah karakter seseorang. Mana sosok Yuni berubah-ubah sekenanya. Kadang jadi Maudy Koesnaedi, Winona Rider, Nicky Astria, bahkan Martina Hingis, padahal suaranya tetap suara Yuni. Ah, dasar mimpi! Tempat mereka berbincang pun berpindah-pindah, kadang serasa di awan, kadang malah di lapangan bola di antara para pemain yang berebut si kulit bundar. Kacau! Di depan Yuni, Alan sama sekali tak berkutik, cuma bisa menunduk seraya meremas-remas ujung baju. Apa nggak ngekiin. Sementara Yuni terlihat sangat percaya diri dan mendominasi percakapan. Pada intinya Yuni menuntut soal harapan yang selama ini Alan berikan. Yuni memaksa Alan menerimanya sebagai kekasih. Sayang Alan bimbang. Apa iya Yuni yang anak pejabat penting di kota ini betul-betul mau dipacari anak seorang penjual sayur yang tinggal di kawasan kumuh?
“Dibatalkan saja, Yun negosiasinya…,” kalimat yang masih sangat diingat Alan.
“Sembarangan!” protes Yuni dalam wajah Martina Hingis yang lagi pakai kebaya lengkap dengan kondenya.
“Belum ada kesepakatan, bukan?” Alan nggak mau nyerah.
“Tapi kamu telanjur memberi harapan.”
“Kalau gitu kembalikan harapan itu.”
“Sudah keburu aku telan!”
“Nah, berarti kan sudah keluar lagi pas kamu…”
“Itu limbahnya. Vitamin dan zat gizi lainnya kadung membuatku cintrong sama kamu.”
“Mestinya nggak kamu terima mentah-mentah harapan itu.”
“Eh, nggak bisa diralat dong!”
“Kamu ngebet banget sih?!”
“Emang nggak boleh?”
“Aku nggak punya modal, Yun. Orang pacaran kan nggak cuma berbagi cinta. Mesti ada selingan. Jalan-jalan, nonton, atau makan. Semua perlu suntikan dana. Aku pernah cerita, kan laba dari berjualan sayur nggak seberapa.”
“Ala, alasan klasik.”
“Sungguh, Yun…”
“Nggak! Sekarang begini saja. Pilih! Kamu pacari aku. Atau, aku pacari anak tukang sayur lain.”
Alan bingung, sayang nggak banyak waktu untuknya. Pas lagi sIbuk mikir, mendadak ada gempa bumi, eh, bukan ding. Ibu mengguncang tubuhnya nyuruh bangun.
***
Yuni…
“Mama jail iih! Kenapa Yuni dibangunkan?” dihentakkan punggungnya ke sandaran sofa, jengkel berat sama Mama yang mengusik mimpi indahnya.
“Astaga, anak Mama! Udah jam tiga, apa nggak les balet?” kata Mama mengingatkan, dengan senyum dan elusan lembut di rambut si bungsu.
“Balet ya balet. Tapi Mama udah ngerusak mimpi Yuni. Sebel!” Dihentakkan kakinya empat kali di lantai, bibir tipisnya manyun tiga perempat senti.
“Cuma mimpi?!” Mama melongo.
“Mimpi indah, Ma. Nggak gampang mendapatkannya. Nggak gampang nunggu mimpi itu terulang di lain hari. Kalaupun ada yang indah, kisahnya belum tentu sama.”
“Seindah apa sih, Non?” Mama menahan geli.
“Pokoknya kisah yang paling Yuni suka. Trus, gimana sekarang? Mimpi itu kadung lenyap gara-gara Mama. Mama nggak bisa balikin mimpi itu, kan?”
“Tentu saja…” Mama tambah bengong.
“Nah, makanya lain kali jangan main jail seenaknya.”
“Lho, kalau acara-acara Yuni lewat cuma karena Mama nggak boleh membangunkan tidur Yuni?”
“Itu risiko!”
“Eit, nggak bisa dong! Mama nggak boleh membiarkan masa depan Yuni hancur dilenakan mimpi-mimpi indah. Telat sekolah, telat les, telat belajar dan sebagainya cuma demi ngebelain mimpi. Itu kan nggak realistis.”
Yuni gelagapan menyadari kebenaran ucapan Mama. Tapi dasar telanjur jengkel. “Membangunkan lima menit lebih lambat kan bisa,” dalihnya.
“Kalo jam segitu mimpi indah belum habis?” balik Mama. “Jadi bolos les dong. Ih, jangan deh. Masa depan, Non,” Mama mengerling jenaka.
“Kalau gitu Yuni mau beneran bolos aja!”
“Trus Yuni mau ngapain?”
“Tidur lagi siapa tahu mimpi indah itu balik lagi.”
“Lha, kalau yang datang malah mimpi buruk?”
“Mama!” Dihujaninya lengan Mama dengan tujuh belas cubitan kecil, sementara Mama cuma bisa jejeritan sambil berusaha ngeles. Adegan kocak yang bikin Papa yang baru pulang gawe terlongo di ambang pintu depan. Alhasil, mau nggak mau, walau dengan ekspresi gondok, Yuni berangkat juga ke tempat les diantar si sulung, Bambang. Namun belum sepuluh menit Yuni sudah nongol lagi dengan tampang makin amburadul. Mama yang lagi mijitin Papa di ruang keluarga jadi sasaran utama.
“Sore ini Mbak Nadia nggak bisa ngasih pelajaran karena mesti bezuk neneknya di rumah sakit. Mama ngerti maksudnya? Artinya, nggak ada masalah misalkan Yuni bolos. Artinya lagi, Mama nggak perlu ngebangunin Yuni dari mimpi indah itu. Artinya Mama memang jail, jail, jaillll…” Yuni menghambur ke kamarnya dengan tangis pecah diiringi tatapan bengong Mama, Papa, juga Bambang yang hanya bisa nyerah lantaran sepanjang perjalanan pulang balik nggak diacuhin sama sekali oleh sang adik, padahal biasanya dara manis itu selalu cerewet bahkan ngegodain masnya yang lagi nyetir. Klelekan biji asam kali tuh nenek, batin Bambang cuek.
Tapi jujur, Mama diam-diam merasa kasihan dan bersalah kepada Yuni karena sudah mengecewakan boneka manja itu walau nggak sengaja dan dan mestinya nggak perlu membuat Yuni ngambek heboh seperti itu.
“Maafkan Mama, sayang…” Mama membelai rambut Yuni yang telungkup di tempat tidur.
“Mama nggak salah…,” sendat Yuni, berbalik menatap paras Mama dengan mata sembab. “Salah Yuni, kecewa sama diri sendiri.”
Kening Mama spontan berkerut mendengarnya. “Yuni merasa tersindir oleh mimpi itu, Ma walau di sisi lain Yuni senang disinggahi mimpi indah itu.”
Mama menarik napas panjang. “Cerita dalam mimpi itu sebenarnya bagaimana?” lembut Mama bertanya.
Setelah isakannya reda, Yuni cerita.
Agak mengherankan, mimpi itu terasa demikian jelas seolah benar-benar terjadi, padahal biasanya alur sebuah mimpi kan kacau balau. Serasa sudah lama Yuni, dalam mimpi itu, duduk di sebuah taman bunga yang indah. Ditemani Alan. Berbincang tentang isi hati. Alan berpakaian bak seorang pangeran dan Yuni sendiri bergaun bak seorang putri raja dalam dongeng. Percakapan mengalir seperti air, nggak terdapat sebutirpun ganjalan di hati masing-masing. Saling mengucap cinta, membagi janji-janji, semua diutarakan dengan penuh perasaan. Sampai suatu ketika Alan pamit, mengucap salam dengan sun pipi kiri kanan, sayang nggak kesampaian karena sebelum bibir Alan singgah di pipi Yuni, Mama keburu ngebangunin Yuni.
“Ehm, jangan-jangan, Yuni kecewa lantaran Alan nggak jadi ngesun?” goda Mama setelah Yuni mengakhiri ceritanya.
“Mama kegenitan deh ih!” rajuk gadis imut itu. Mama mesem.
“Oke, oke, serius,” kata Mama sambil membenahi letak duduknya di samping Yuni. “Yuni sebenarnya suka sama Alan, kan?”
Yuni menunduk, malu. Semburat merah meronai pipinya. “Itulah yang membuat Yuni merasa tersindir, Ma. Dalam mimpi tadi Yuni mudah sekali berterus terang tentang perasaan Yuni kepada Alan. Sementara di alam nyata Yuni nggak pernah bisa melontarkannya walau ingin. Yuni ngerti caranya gimana. Siapa pun, lebih-lebih seorang gadis nggak boleh gegabah dalam mengutarakan perasaannya kepada orang yang disukainya, harus dalam batas yang wajar, apalagi ada anggapan bahwa tabu seorang gadis mengutarakan perasaannya lebih dulu. Yuni tahu itu. Makanya diam-diam Yuni berusaha merancang langkah demi langkah dengan cermat supaya kalo nantinya cinta Yuni nggak Alan terima, Yuni nggak kehilangan muka apalagi harga diri di depan Alan. Tapi Yuni nggak pernah bisa memulainya. Setiap sore ketemu Alan pas beli sayur Yuni kesulitan membelokkan pembicaraan ke arah itu, cuma sayuuur melulu yang diomongin atau soal sekolah. Yuni mesti gimana dong, Ma?” Yuni menatap penuh harap ibunda terkasihnya itu mau membantu mencarikan jalan keluar yang baik.
“Apa Yuni yakin bahwa perasaan itu benar-benar cinta, bukan yang lain?” Mama bertanya lembut.
“Yang lain apa?” Yuni balik nanya.
“Kagum,” jawab Mama. “Ada sesuatu dalam diri Alan yang Yuni kagumi. Ketenangannya, rasa percaya dirinya, ketabahannya, keuletannya, atau ketampanannya, atau yang lain?”
“Semua, Ma,” ujar Yuni mantap. “Yuni kagum melihat Alan meneriakkan sayur sambil mengayuh sepeda keliling perkampungan tanpa beban. Yuni terkesan dengan kisah hidup yang sedikit demi sedikit disinggungnya setiap berbincang dengan Yuni. Kasih sayangnya terhadap ibunya, satu-satunya orangtua setelah ayahnya meninggal sejak ia kecil. Semangatnya yang menyala untuk melalui segenap kepahitan hidup. Juga keinginannya yang membara untuk menyelesaikan SMA yang baru tahun pertama ini. Semua Yuni kagumi, tanpa sedikitpun perasaan ingin mengasihaninya sebab Yuni tahu Alan nggak butuh itu. Awalnya semua terasa biasa, Ma. Tapi, tahukah Mama bahwa saat ini semua menjadi sangat luar biasa bagi Yuni. Kekaguman itu selalu diwarnai debar-debar aneh yang di awal kenal dulu nggak Yuni rasakan. Hari-hari Yuni selalu penuh dengan Alan, Alan, dan Alan. Apa yang begini cuma kekaguman namanya, Ma?”
Seketika Mama merengkuh Yuni ke dalam pelukannya, dengan senyum termanis yang pernah Yuni rasakan. “Mama baru yakin sekarang,” ucap Mama lembut.
“Bukan pilihan yang salah, kan, Ma?”
“Bukankah nggak ada yang perlu diragukan dengan anak itu? Mama tahu dia anak yang baik.”
“Ngaak ada soal lain yang memberatkan Mama?”
“Seperti apa?”
“Ehm, nggak, Ma…”
“Mama tahu maksud Yuni. Tapi sungguh, Mama nggak berpikir untuk mempermasalahkannya. Cuma soal waktu, Yun. Ditambah kerja keras serta keberuntungan. Yuni pikir kondisi kita langsung seperti ini? Sama sekali tidak. Semua mesti dirintis dari bawah.”
“Kita doakan ya, Ma semoga dengan kerja kerasnya Alan mendapatkan keberuntungan, biar hidup mereka nggak sengsara seperti sekarang.”
“Mereka tidak sengsara, Yun. Buktinya mereka bisa menikmati kehidupan yang mereka jalani. Mereka tampak bahagia.”
“Ah, ya, mestinya Yuni nggak menilai mereka dengan kacamata kita.”
“Masalahnya…,” Mama menggantung ucapannya, Yuni menatap bengong. “Sampai hari ini Yuni belum mengutarakan perasaan, dan Yuni belum tahu isi hati Alan. Mama bukan mau mengendurkan niat Yuni, namun alangkah baiknya bila saat ini Yuni nggak berharap terlalu jauh dulu. Mesti diselidiki dulu apakah Alan juiga memiliki perasaan sama terhadap Yuni. Jangan sampai Yuni jatuh karena kenyataan bertolak belakang dengan harapan. Yuni ngerti, kan?”
Yuni mengangguk mantap. “Misalkan hari ini Yuni mencoba memberitahu Alan tentang perasaan Yuni, boleh nggak, Ma?” tekadnya.
“Sepanjang tidak melanggar rambu-rambu yang Yuni ketahui, kenapa tidak? Mama malah akan bangga sebab dengan demikian berarti Yuni telah berhasil melalui sebuah tahapan yang amat sulit dalam kehidupan Yuni, tentu tanpa melupakan risiko apapun yang bakal Yuni terima dengan keputusan itu, harus lapang dada.”
“Yuni akan coba, Ma. Doakan Yuni berhasil ya, Ma?”
Lagi, Mama tersenyum, mengecup rambut Yuni. Bersamaan dengan itu, terdengar sebuah teriakan yang amat sangat dihapal Yuni. Segera gadis itu melepas pelukan Mama, menatap ibunya penuh arti.
“Buruan merapikan diri!” Mama menyentil ujung hidung Yuni.
Saat kali kedua teriakan itu menggema, Yuni telah melesat keluar.
“Sayuuuur…!”
***
Alan dan Yuni…
Depan rumah megah itu.
“Kamu kelihatan lesu, kenapa Al?” Yuni menemukan sesuatu yang kurang beres pada diri Alan, rona wajahnya lesu, juga pancaran matanya.
“Lagi keki aja, Yun,” Alan tersenyum manis, sementara tangannya sigap memilih dua ikat selada segar kesukaan Yuni.
“Keki kok senyum-senyum?” Yuni mengerutkan kening, namun dalam hati, seperti biasa, ia harus memuji dirinya sendiri lantaran begitu pintar mengkamuflase perasaan di depan cowok itu, sehingga ia bisa tetap bersikap wajar, walau sebenarnya debar-debar aneh itu meletus demikian dahsyat dalam dadanya. Bahkan senyum maut cowok itu telah melambungkannya tinggi-tinggi dan memaksanya berteriak keras-keras dalam hati saking bahagianya.
“Jangan-jangan aku penyebabnya, Al?” sentil Yuni.
“Ah, nggak kok. Seumur-umur kapan sih kamu pernah ngekiin aku? Lagi keki sama mimpi aja.”
“Apa?!” Hampir disambungnya kekagetan itu dengan kalimat, “kamu nyindir aku ya?” Untung Yuni segera sadar, Alan pasti tak tahu soal mimpi indah itu. “Eh, sama mimpi aja kok bisa keki sih?!”
“Habisnya dalam mimpi itu aku berubah jadi cowok minder, mana di depan cewek lagi. Kenyataan aku kan nggak begitu.”
Cewek? Tanya hati Yuni. Siapa dia? Kekasih Alan?
“Kok malah bengong sih?” Alan mengibaskan lengan kukuhnya di depan wajah Yuni.
“Eng…nggak, cuma ngerasa aneh. Mimpi kok bisa sampai bikin rusuh perasaan.” Padahal barusan aku juga mengalaminya, dirusuhi mimpi, mimpi indah!
“Tauk ya, mimpi itu sepertinya menghinaku. DIbuatnya aku minder cuma aku anak seorang penjual sayur. Ada aja!”
Hampir sama, Al. Mimpi indah tadi juga menyindirku. “Ngomong-ngomong, kalau boleh tahu, ngomongin apa sih kamu sama cewek itu?” Spontan pertanyaan itu keluar, ngaco!
“Cewek yang mana?”
“Dalam mimpimu itu.”
“Biasalah, asmara. Dia minta aku jadi kekasihnya, cuma aku ragu, lantas di ujung mimpi ia memvonis, aku pacari dia, atau dia cari pacar anak tukang sayur lain.”
Yuni tertawa. “Nekad bener tuh cewek. Trus, apa jawabanmu?”
Alan menggeleng, nggak bisa menyembunyikan kejengkelannya.
“Menggantung dong, endingnya!” Yuni cekikikan.
“Terpaksa!”
“Sebenarnya kamu cinta nggak sih sama gadis itu?”
“Sangat, tapi itu kan cuma mimpi.”
“Misalnya mimpi itu terjadi dalam kehidupan nyata?”
“Dengan berperan sebagai cowok minder?”
“Nggak dong. Umpama vonis kayak tadi benar-benar kamu alami.”
“Yaah, cuma umpama.”
“Kalo gitu anggap saja nggak umpama.”
“Jelas aku akan penuhi permintaannya. Aku akan pilih yang pertama, mengambil dia sebagai pacarku. Tanpa rasa minder, sebab pada dasarnya aku mencintainya dan diam-diam memikirkannya. Sumpah tujuh turunan, aku akan bahagia bila dia betul-betul jadi kekasihku!”
“Seratus persen yakin, ya?” Ada dentam tak nyaman dalam dada Yuni. Cemburu!
“Boleh tahu siapa gadis dalam mimpimu itu? Cantik ya?” cetus Yuni dikalahkan rasa cemburu. Entah Alan bisa menangkap gelagat itu atau tidak. Yuni nggak peduli. Ia hanya butuh jawaban segera. Soal kemungkinan nantinya akan kecewa sungguh nggak perlu diurus. Nanti ya nanti. Sekarang, jawaban. Berdebar Yuni menunggu.
Tapi…
Sampai lama Alan hanya menatapnya lekat-lekat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar