Oleh Ayah
Ah, masih sangat kuingat pesan pendek yang ia kirimkan pada suatu hari tatkala matahari nyaris rebah di pangkuan senja. Aku terhenyak sesaat lalu tersenyum manakala menyadari bahwa serenteng kalimat yang ditulisnya menyiratkan sebentuk perasaan yang tak lagi bisa ditanggung dan butuh tempat untuk menumpahkannya. Saya tidak krasan, Ayah. Hari-hari yang saya jalani benar-benar di luar bayangan saya. Sampai-sampai saya berpikir untuk mengakhirinya, pindah ke sekolah lain. Teman-teman baru saya jauh berbeda dari teman-teman yang saya akrabi tiga tahun sebelumnya. Sebagian malah sangat menyebalkan. Setiap kesempatan hanya mereka pakai untuk membicarakan hal-hal yang tidak berguna. Saat itulah saya tak bisa membendung keinginan untuk lari saja sejauh-jauhnya, bertemu teman-teman lama yang mungkin tengah bergembira di tempat baru mereka. Ingin menjerit rasanya, menangis sepuasnya. Saya kehilangan saat-saat indah dalam hidup saya dalam sekejap mata. La bertemu saat-saat menyebalkan yang entah kapan akan berakhir. Saya capek, Ayah. Saya mau pindah saja. Saya sudah tidak tahan lagi.
Kala itu Ayah memang sengaja tak banyak bicara, Mel. Hanya dua buah kalimat tanya untukmu. Apakah teman-teman barumu di SMP dulu tak ada yang menyebalkan pada awal kenal? Kau menggeleng. Apakah kau tak merasa kehilangan teman-teman SD ketika berpisah dulu? Sekali lagi, kau menggeleng. Kau tahu, kan. Mel arti tepukan tangan Ayah beberapa kali di bahumu setelah itu, sebelum Ayah melanjutkan langkah ke kelas?
Waktu terus bergulir. Hampir dua bulan berlalu. Kelas baru telah berjalan sebagaimana mestinya. Dua hari lalu sekali lagi aku tersenyum. Tentu bukan sesuatu yang ajaib bila akhirnya aku menemukannya tak lagi resah. Melati telah bisa tersenyum. Secepat itukah ia melupakan segala rasa yang ditumpahkannya belasan hari yang lalu? Ya apa mau dikata, memang itulah fakta yang terlihat saat ini. Dua pekan lalu ia masih melangkah gamang di halaman sekolah, dengan atribut MOS digenggamnya tanpa semangat. Langkah-langkahnya terayun sangat berat. Tapi saat ini semua telah berubah. Sorot matanya seolah mengabarkan bahwa semua baik-baik saja akhirnya. Keresahan yang terlukis lewat kalimat sms-nya dulu, kini tak ada lagi. Tentu saja ada kelegaan melimpah ruah melihatnya telah mampu mengatasi persoalannya sendiri. Keadaan itu makin meneguhkan keyakinan dalam diriku, sesungguhnya ia memahami bagaimana melangkah di jalan yang tak sama rata dengan puluhan kilometer yang ditapakinya kemarin.
Makin lapang hatiku saat mendengar ia bertutur tentang keikhlasan hatinya menerima kenyataan bahwa teman-teman dekatnya selama ini kini telah menempuh jalan masing-masing, terpisah ratusan kilometer jauhnya, mengejar segala yang diimpikan sekian lama. Mawar, teman sebangku yang hangat telah pergi, dan bangku kosong di sampingnya kini diisi sosok lain yang memiliki keistimewaan berbeda dan sanggup mengisi pundi-pundi batinnya menjadi lebih kaya. Anggrek, yang selalu lucu kini telah digantikan oleh sosok yang jahil tapi menggemaskan. Belum lagi pengganti Matahari dan Bintang yang tak kalah setia berbagi cahaya keriangan masa remaja. Dunia yang dulu menghampa karena perpisahan, kini berubah menjadi lebih berwarna.
Sebuah kalimat yang akan selalu kukenang, Melati. Kauucapkan dengan sorot mata berbinar. Saya tak jadi pindah, Ayah. Tak ada kata kuucapkan, namun kelegaan yang memenuhi rongga dadaku sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan betapa bangganya aku melihat kedewasaannya menemukan tempat yang tepat untuk tumbuh. Aku bilang tepat, sebab kita memang tak akan pernah tahu tempat mana yang tepat untuk medium tanam benih kedewasaan kita, sebelum kita benar-benar menjejaknya dan mencoba mengakar dengan segenap daya.
Teruslah berjuang, Melati. Perasaan cinta, dan kehilangan, akan selalu datang dan pergi. Begitu pun kebersamaan. Teruskan mencecah tanah. Semoga akar yang kaujulurkan pada setiap detik waktumu benar-benar bisa mencengkeram bumi agar pijakanmu bisa makin kokoh.
Ah, masih sangat kuingat pesan pendek yang ia kirimkan pada suatu hari tatkala matahari nyaris rebah di pangkuan senja. Aku terhenyak sesaat lalu tersenyum manakala menyadari bahwa serenteng kalimat yang ditulisnya menyiratkan sebentuk perasaan yang tak lagi bisa ditanggung dan butuh tempat untuk menumpahkannya. Saya tidak krasan, Ayah. Hari-hari yang saya jalani benar-benar di luar bayangan saya. Sampai-sampai saya berpikir untuk mengakhirinya, pindah ke sekolah lain. Teman-teman baru saya jauh berbeda dari teman-teman yang saya akrabi tiga tahun sebelumnya. Sebagian malah sangat menyebalkan. Setiap kesempatan hanya mereka pakai untuk membicarakan hal-hal yang tidak berguna. Saat itulah saya tak bisa membendung keinginan untuk lari saja sejauh-jauhnya, bertemu teman-teman lama yang mungkin tengah bergembira di tempat baru mereka. Ingin menjerit rasanya, menangis sepuasnya. Saya kehilangan saat-saat indah dalam hidup saya dalam sekejap mata. La bertemu saat-saat menyebalkan yang entah kapan akan berakhir. Saya capek, Ayah. Saya mau pindah saja. Saya sudah tidak tahan lagi.
Kala itu Ayah memang sengaja tak banyak bicara, Mel. Hanya dua buah kalimat tanya untukmu. Apakah teman-teman barumu di SMP dulu tak ada yang menyebalkan pada awal kenal? Kau menggeleng. Apakah kau tak merasa kehilangan teman-teman SD ketika berpisah dulu? Sekali lagi, kau menggeleng. Kau tahu, kan. Mel arti tepukan tangan Ayah beberapa kali di bahumu setelah itu, sebelum Ayah melanjutkan langkah ke kelas?
Waktu terus bergulir. Hampir dua bulan berlalu. Kelas baru telah berjalan sebagaimana mestinya. Dua hari lalu sekali lagi aku tersenyum. Tentu bukan sesuatu yang ajaib bila akhirnya aku menemukannya tak lagi resah. Melati telah bisa tersenyum. Secepat itukah ia melupakan segala rasa yang ditumpahkannya belasan hari yang lalu? Ya apa mau dikata, memang itulah fakta yang terlihat saat ini. Dua pekan lalu ia masih melangkah gamang di halaman sekolah, dengan atribut MOS digenggamnya tanpa semangat. Langkah-langkahnya terayun sangat berat. Tapi saat ini semua telah berubah. Sorot matanya seolah mengabarkan bahwa semua baik-baik saja akhirnya. Keresahan yang terlukis lewat kalimat sms-nya dulu, kini tak ada lagi. Tentu saja ada kelegaan melimpah ruah melihatnya telah mampu mengatasi persoalannya sendiri. Keadaan itu makin meneguhkan keyakinan dalam diriku, sesungguhnya ia memahami bagaimana melangkah di jalan yang tak sama rata dengan puluhan kilometer yang ditapakinya kemarin.
Makin lapang hatiku saat mendengar ia bertutur tentang keikhlasan hatinya menerima kenyataan bahwa teman-teman dekatnya selama ini kini telah menempuh jalan masing-masing, terpisah ratusan kilometer jauhnya, mengejar segala yang diimpikan sekian lama. Mawar, teman sebangku yang hangat telah pergi, dan bangku kosong di sampingnya kini diisi sosok lain yang memiliki keistimewaan berbeda dan sanggup mengisi pundi-pundi batinnya menjadi lebih kaya. Anggrek, yang selalu lucu kini telah digantikan oleh sosok yang jahil tapi menggemaskan. Belum lagi pengganti Matahari dan Bintang yang tak kalah setia berbagi cahaya keriangan masa remaja. Dunia yang dulu menghampa karena perpisahan, kini berubah menjadi lebih berwarna.
Sebuah kalimat yang akan selalu kukenang, Melati. Kauucapkan dengan sorot mata berbinar. Saya tak jadi pindah, Ayah. Tak ada kata kuucapkan, namun kelegaan yang memenuhi rongga dadaku sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan betapa bangganya aku melihat kedewasaannya menemukan tempat yang tepat untuk tumbuh. Aku bilang tepat, sebab kita memang tak akan pernah tahu tempat mana yang tepat untuk medium tanam benih kedewasaan kita, sebelum kita benar-benar menjejaknya dan mencoba mengakar dengan segenap daya.
Teruslah berjuang, Melati. Perasaan cinta, dan kehilangan, akan selalu datang dan pergi. Begitu pun kebersamaan. Teruskan mencecah tanah. Semoga akar yang kaujulurkan pada setiap detik waktumu benar-benar bisa mencengkeram bumi agar pijakanmu bisa makin kokoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar