Kamis, 27 Mei 2010

Impian-Impian Kecil



(Dimuat di majalah Story edisi 10, April-Mei 2010)

Kepala Fitri tertunduk. Rambutnya yang panjang legam menutupi sebagian wajahnya. Selalu, tatapan lembut ibu meluluhkan hatinya. Fitri hafal kebiasaan ibu. Beliau tak akan beranjak sebelum segalanya menjadi jelas. Perubahan sikap Fitri akhir-akhir ini sudah lebih dari cukup sebagai alasan untuk menginterogasinya. Dan, tiga hari lalu Fitri tak kuasa lagi menutupi kisah yang dipendamnya rapat-rapat. Kini ibu telah tahu semuanya. Tapi naluri seorang ibu tak bisa dibohongi. Kisah yang disimpan putri semata wayangnya itu sesungguhnya belum tuntas.
“Percayalah, Bu. Fitri sudah memaafkannya…,” urai gadis itu sendu.
“Ibu percaya,” tatap ibu dengan senyum. “Tapi salahkah kalau Ibu ingin melihat segalanya kembali seperti dulu? Sudut-sudut rumah kita sepi tanpa dia, kan?”
“Lalu Fitri harus bagaimana lagi, Bu?” gadis itu bingumg.
“Temui dia, Nak. Ketulusan hati berbuat kebaikan semoga membuahkan kebahagiaan lebih buatmu.”
Sesaat Fitri bimbang. Namun senyum lembut ibu tak henti membujuknya.
***

Minggu, 23 Mei 2010

Pesta


Pesta megah pernikahan
ala dongeng kerajaan atas langit itu
membuatku terawang-awang
terkesima
lalu terluruh bisu

Kutemukan
di tengah kelimpahan hidangan terlezat
denting-denting nyaring piring kristal
senandungkan ode bagi para papa tak berdaya
mencecap mereka tetes demi tetes kenikmatan
dengan pikiran jauh
dari petak-petak kardus
surga abadi mereka usai kemeriahan
dipadamkan waktu

Kutemukan di pelaminan
sepasang wajah bertudung kaleng bekas
berpoles jelaga
bercengkerama dalam keriaan
di tengah ribuan saudara yang nyaris tak tersentuh
asal kolong-kolong jembatan
gaun pengantinnya adalah peraman tikar pandan
bertahun-tahun siam di tong sampah pojok jalan
hingga terasa benar apak dan dekilnya
demi penghayatan terindah peristiwa bersejarah



Jumat, 21 Mei 2010

Curhat Bumi


Malam tadi bulan marah
menuduhku selingkuh dengan hujan
padahal ia sendiri
memutuskan tak datang
menjamahku

kau dengarlah ia beralasan
payung tujuh rupa pelangiku -katanya
dipinjam halilintar
untuk taziah ke rumah matahari
yang meninggal terseret
badai puting beliung
pagi tadi



Memo Hari Ini


Tak dengan airmata
tak dengan lambaian
kulepas musim hujan
sebab lenganku ngilu terasa
lelah menggali

dari dinding bukit gundul
lelehan lumpur
telah menisankan
papan dan biji-biji dakon anak-anakku