Jumat, 27 November 2009

Semangkakao

Oleh Ayah!

(yang terkasih: nenek minah, pak kholil, pak basar)

Tak apa
nek
pak
rasa hormatku tetap tersemat
di relung paling liat
hati, menjadi ajimat



Tiga biji
satu biji
entah berapa berikutnya biji
akan menyaksi
terlepuhnya nurani
oleh sebab arogansi


Tak apa
nek
pak
dosaku melimpah ruah
tak sanggup aku membendungnya
dan jika bicara neraka
akulah yang pertama
di sana
merasa apinya
berkobar
mencincang segala



Tak apa
nek
pak
penuh percayaku
sejuta maaf kalian punya
bahkan doa surga
bagi mereka
yang tengah belajar
mencerna
apa sesungguhnya
senyum termesra
di balik cinta
menyala
semestinya kita punya
bagi sesiapa


Tak apa
nek
pak
tanganmu tetap wangi
untuk kucium dengan airmata
meleleh-leleh bangga
sebab kau beriku fatwa
untukku tak tengadah kepala
di tengah juta nestapa



Senin, 23 November 2009

Bencana 2012?! Emang Kenapa Sich?!



Oleh Ayah!

Heboh di mana-mana. Panik. Pontang-panting. Cemas. Gelisah. Marah. Sedih. Nggak rela. Bingung. Linglung. Sebal. Seluruh perasaan yang berjajar di atas, tentu saja muncul dengan alasan yang beragam. Ada yang mikir bagaimana hartaku nantinya. Bagaimana pula dengan istri, suami, ayah, ibu, anak, adik, kakak, kekasih, dan lain-lain, yang saat ini, atau, mungkin, sampai menjelang akhir 2012, masih berada di tempat nun jauh di sana. Cita-cita yang digenggam erat pun mendadak terurai, merasa tiba-tiba sudah berada di ambang kegagalan, dan, jangan-jangan, sudah merasa percuma melanjutkan menggapainya, walaupun faktanya masih tersisa beberapa tahun lagi, kalau bencana itu benar-benar akan terjadi. Kalau tidak?


Mirip kisah dalam film spektakuler Hollywood karya para sineas yang keranjingan teknologi canggih. Dua jempol untuk visual efeknya! Kalau jari tanganku jempol semua, pasti kuacungkan tinggi-tinggi untuk kehebatan mereka meramu gambar seolah nyata! Lengkap dengan sejuta terima kasih lantaran menyadarkan aku bahwa teknologi kita masih jauh di bawah mereka, jadi tidak perlu jadi sombong!
Beberapa teman, ketika mendiskusikan hal isu bencana 2012 denganku, entah kenapa mendadak jadi sewot dan blingsatan mengetahui reaksi yang kuperlihatkan ternyata sama sekali di luar bayangan mereka. Nah! Buntutnya, Anda tebak, kalau mau menebak, mereka mencaci-maki diriku dengan suksesnya. Mau tahu reaksi apa yang kuperlihatkan di hadapan mereka?
Bencana 2012? Oh, pasti dahsyat, jika benar serupa gambaran film 2012! Aku memang belum menonton filmnya secara utuh, baru cuplikannya di internet dalam durasi sekian menitan (saat tulisan ini kuposting, aku sudah punya copy filmnya secara utuh, hanya belum sempat nonton). Keren abis! Jadi pengen nonton seutuhnya! Sungguh! Bukan untuk membayangkan kengeriannya, melainkan hanya ingin, sekali lagi, menjadi saksi pertumbuhan teknologi efek khusus yang dari waktu ke waktu memang sangat mengagumkan. Hanya itu! Tidak lebih! Dan aku tidak mau berandai-andai, nanti begini, nanti begitu. Males. Capek. Pusing. Terserah. Bukan capek, males, dan pusing memikirkan kengerian yang muncul andai bencana itu benar-benar terjadi. Tapi males, capek, pusing lantaran pekerjaan yang harus kuselesaikan setiap hari memang membuahkan deretan perasaan tersebut. Jadi, sudah tidak ada ruang dan waktu dalam hidup saya untuk memikirkan hal itu, apalagi sampai menjadi paranoid dan menghubungkannya dengan ini-itu. Apa sih? Orang cuma film, imajinatif. Dan buatku semata-mata hiburan, dan pastinya aku akan terhibur saat menontonnya, sama seperti ketika dulu aku menonton Deep Impact, Armageddon, Earthquake in New York, atau sederet film bermakna bencana lainnya.

Selanjutnya? Sudah pasti pertanyaan itu kujawab dengan pertanyaan baru, “Selanjutnya apa?” Habisnya bingung ada pertanyaan itu. Mungkin menurut mereka, selanjutnya apa kau tidak ikut-ikutan menjadi paranoid, dan blingsatan, atau, bahkan, merasa hidup jadi sia-sia, toh capek-capek mengisinya dengan segudang impian, akhirnya bakal finish juga pada menjelang akhir 2012. Hehehe, nggak segitunya, Bro! Menyedihkan banget gitu loh!
Hidup ini indah. Mau sisa hidup kita tinggal puluhan bulan, tiga tahun, atau dalam hitungan hari, memangnya kenapa? Mau dunia berakhir, atau bumi hancur, dan seluruh makhluk di dalamnya berkeping-keping, ya biar saja kalau memang sudah waktunya. Kalau aku dipaksa menjawab pertanyaan bermakna “selanjutnya?”, baik, inilah jawabannya. Selanjutnya, setelah mendengar isu spektakuler itu, aku melanjutkan hari-hariku seperti biasa. Tapi, memang, harus ada bedanya. Kalau sebelum isu itu bergulir aku santai-santai saja. Sekarang, lebih serius, lebih bertanggung jawab. Lebih ramah kepada sesama. Kalau kemarin banyak dosa terhadap orang-orang di sekitar tempat tinggal atau di manapun, sekarang mulai banyak menebar kata maaf (dengan setulus-tulusnya, tentu saja), dan setelah itu berusaha tidak berbuat kesalahan lagi. Kalau kemarin ibadahnya asal melunaskan kewajiban, sekarang jadi lebih “menghayati” kedekatan dengan tuhan. Dan sebagainya. Pokoknya semua hal positif yang bisa aku lakukan, sedapat mungkin aku lakukan tanpa harus mikir imbalannya. Siapa tahu, bencana itu benar-benar akan terjadi, aku tidak akan menyesal karena sudah memandfaatkan sisa waktu dengan sebaik-baiknya. Gampang banget! Bakalan mati, ya mati saja, toh banyak temannya! Oke???