Minggu, 08 Agustus 2010

Percakapan Senja



Pulang nak
ia menggeleng
(kuelus rambutnya
ia tertunduk)

Nak pulang
malas yah
kau ditunggu nak
siapa
mereka
mereka siapa, kemarahan

Ada apa lagi sih nak
haruskah aku cerita lagi yah
sikapmu melukai mereka
mereka juga yah, bahkan lebih

Mereka sayang kau nak
aku juga
lalu
lalu apa yah

Kenapa kau tak mau pulang nak
karena aku selalu ingin di sini
tapi kau punya rumah
aku tak butuh rumah

Nak
ayah dengarlah, jika ruang ini tak kaurelakan, kumohon ikhlaskan sudut empermu
bicara apa kau ini
bicara jujur yah, aku sayang ayah
aku bukan ayahmu nak
jadi aku bukan anakmu
bukan begitu maksud ayah
lalu apa

Nak
ayah mau bicara darah lagi kan
nak
potong nadiku yah, kau akan tahu, tak ada lagi darah dalam tubuhku
nak
kau tahu yah dengan apa aku hidup
cukup nak
dalam tubuhku mengalir seribu kata tak mengancam darimu
nak cukup
telunjukmu yah, tak sekalipun pernah tikam bola mataku
anakku jangan lagi ucapkan itu
katakan yah, masih perlukah darah untukku bisa hidup

(Memanas lagi kelopak mataku)
baiklah ayahku
lho ke mana
pulang yah
katamu tak ingin pulang
aku harus segera pulang yah, harus, hanya agar airmata ayah tak menetes lagi


Kamis, 27 Mei 2010

Impian-Impian Kecil



(Dimuat di majalah Story edisi 10, April-Mei 2010)

Kepala Fitri tertunduk. Rambutnya yang panjang legam menutupi sebagian wajahnya. Selalu, tatapan lembut ibu meluluhkan hatinya. Fitri hafal kebiasaan ibu. Beliau tak akan beranjak sebelum segalanya menjadi jelas. Perubahan sikap Fitri akhir-akhir ini sudah lebih dari cukup sebagai alasan untuk menginterogasinya. Dan, tiga hari lalu Fitri tak kuasa lagi menutupi kisah yang dipendamnya rapat-rapat. Kini ibu telah tahu semuanya. Tapi naluri seorang ibu tak bisa dibohongi. Kisah yang disimpan putri semata wayangnya itu sesungguhnya belum tuntas.
“Percayalah, Bu. Fitri sudah memaafkannya…,” urai gadis itu sendu.
“Ibu percaya,” tatap ibu dengan senyum. “Tapi salahkah kalau Ibu ingin melihat segalanya kembali seperti dulu? Sudut-sudut rumah kita sepi tanpa dia, kan?”
“Lalu Fitri harus bagaimana lagi, Bu?” gadis itu bingumg.
“Temui dia, Nak. Ketulusan hati berbuat kebaikan semoga membuahkan kebahagiaan lebih buatmu.”
Sesaat Fitri bimbang. Namun senyum lembut ibu tak henti membujuknya.
***

Minggu, 23 Mei 2010

Pesta


Pesta megah pernikahan
ala dongeng kerajaan atas langit itu
membuatku terawang-awang
terkesima
lalu terluruh bisu

Kutemukan
di tengah kelimpahan hidangan terlezat
denting-denting nyaring piring kristal
senandungkan ode bagi para papa tak berdaya
mencecap mereka tetes demi tetes kenikmatan
dengan pikiran jauh
dari petak-petak kardus
surga abadi mereka usai kemeriahan
dipadamkan waktu

Kutemukan di pelaminan
sepasang wajah bertudung kaleng bekas
berpoles jelaga
bercengkerama dalam keriaan
di tengah ribuan saudara yang nyaris tak tersentuh
asal kolong-kolong jembatan
gaun pengantinnya adalah peraman tikar pandan
bertahun-tahun siam di tong sampah pojok jalan
hingga terasa benar apak dan dekilnya
demi penghayatan terindah peristiwa bersejarah



Jumat, 21 Mei 2010

Curhat Bumi


Malam tadi bulan marah
menuduhku selingkuh dengan hujan
padahal ia sendiri
memutuskan tak datang
menjamahku

kau dengarlah ia beralasan
payung tujuh rupa pelangiku -katanya
dipinjam halilintar
untuk taziah ke rumah matahari
yang meninggal terseret
badai puting beliung
pagi tadi



Memo Hari Ini


Tak dengan airmata
tak dengan lambaian
kulepas musim hujan
sebab lenganku ngilu terasa
lelah menggali

dari dinding bukit gundul
lelehan lumpur
telah menisankan
papan dan biji-biji dakon anak-anakku


Sabtu, 03 April 2010

Kidung Sunyi


Ada yang raib,tiba-tiba
kala malam utus angin
melayangkanku
dan hinggap di dunia maya

Tenanglah,
aku tak akan menahanmu
kesunyian bagiku
lebih indah dari kidung-kidung manis
yang biasa kaudendangkan

Pergilah,
biarkan aku intim dengan liang-liang sunyi
hingga membuahkan anak-anak hening
yang kian tenteramkan hatiku


Kamis, 25 Maret 2010

Sajak Kau-ku


(lelakon...)

Kau,
Datang, dengan hati
melepuh oleh matahari
yang merendah tiba-tiba
musim semi kala itu
baru semaikan
ladang padi yang hijau
sesubur senyum pagi

Aku,
Takjub, oleh luka tak tersamar
di gusar parasmu
matamu lelehkan pekat empedu
tersengal membiru
tapi aku merasa kau
adalah panah surga
melesat secepat kedip girasku
menancap dan tiba-tiba
sukmaku lantang teriak
kaulah kemegahan itu
bagi sunyi yang ganas rampas nafasku

Kita,
Sudikah bila debu
gerus cahaya di depan hingga hablur tatap
tatih langkah bahkan rebah
hilang daya
tidak, sebab kupastikan
rasa itu sekental darah


Minggu, 21 Februari 2010

5 Hari



Lagi, terkapar tak berdaya. Tak kuasa menolak kuasa-Nya. Tak banyak bisa kulakukan hal berharga. Ya, begitu saja. Menatap langit-langit kamar yang semakin kusam disaput masa. Suhu badan lebih dari biasa, sangat tak nyaman terasa. Hehe, jadi aneh kalimat-kalimatku memaksakan diri menata segala yang berakhir "a". Sudahlah, apa adanya saja. Lha?! Hahahaha...! Aku tertawa walau badan sulit bergerak sempurna, sebab virus-virus di dalamnya masih asyik bercengkerama, tak peduli aku yang tengah didera siksa.

Tapi aku akan terus berusaha melawannya, karena kerinduanku kembali bekerja sudah terlalu mendera jiwa dan raga. Sekarang saja aku paksa badan jalan-jalan ke warnet demi melupakan derita. Sekaligus membiasakan diri lagi untuk siap beraktivitas seperti biasa.

Wahai, anak-anakku semua. Rindu ayah kepada kalian sudah seleher tingginya! Mungkin kerinduan yang sama tak pernah kalian rasa? Apakah sebab di kelas selalu ayah memaksa kalian bicara? Sehingga lebih nyaman bila ayah tak ada? Entahlah, hanya kalian yang bisa menjawab ini semua!


Selasa, 16 Februari 2010

Sepatu Pagi Itu


Hilang, baru tahu
sejam sebelum ia berangkat ke sekolah
setelah ribuan hari sebelumnya
selalu tersimpan aman
di tempat terbuka sekalipun

Sang ibu panik, sepagi itu
dengan hanya sebuah kemungkinan
beranjak ke toko lagi
mencatat
dalam daftar hutang
yang lunaspun tak pasti kapan
sekian puluh ribu lagi

Himne Angkot Biru


Kali kesekian di leleh mentari
aku belajar tersenyum dan berdamai
dengan sebelah hati
meyakini angkot biru yang membawaku pergi
tengah menatapku teduh
seraya pelan bahuku ditepuk-tepuk
menyusul nasehat yang hanya bisa kudengar
dalam bilik batin
"kau bukan yang pertama, telah dan akan
ada berikutnya, lagi
dan lagi, tak habis-habis"

Aku mengangguk entah pada siapa
pastinya harus kubujuk benakku
akan fakta bak sinema
rupiah ongkos pergimu
tak selamanya bermakna hak duduk nyaman
kerap kau harus rela
hanya tulang ekormu tertitip pada kursi
yang sejatinya milikmu
sisa orang-orang di sebelahmu
yang membuai pantat mengangkang lutut
dengan nikmat!

Avontur Perahu


Perahuku masih tenang berselancar
membekal cukup kesadaran
seratus dua ombak
setia mengepung untuk sekali terkam
yang berbuah kandas
di ujung palung

Perahuku masih asyik berdansadansi
seiring surealistik gumam kecipak air
yang menyimpan gahar untuk seletus pekik
pemecah gendang
demi tuli akan merdu orasi lautan

Perahuku masih akrab
berbincang pada hati kecil
sementara gusar camar atas derum mesin
tetap kukuh menjaga ikan
dari ngilu tikam paruh berkilat

Perahuku terus merayap
lentur melantai tak putus kata
sampai nanti
bilah horison menjelma lambailambai
dan deret bibir kering
nan rindu mengecup tiang layar
penuh tulus

Kamis, 04 Februari 2010

Main Mata




Ting
mata mengerling
sukma melenting

Ting
aku terpancing
suara melengking

Ting
piring dibanting
rumah berkeping

Ting
tujuh keliling
alangkah pusing

Ting
tubuh terbaring
mengaingngaing



Selasa, 02 Februari 2010

Setitik Embun




( kepada pahlawanku )

Buku-buku yang kausemat dalam lusuh tas itu
adalah saksi mati kecintaanmu pada dunia
pagi hari, sementara embun masih malu-malu
telah kaulapangkan jalanmu
menyongsong matahari
bergerak meniti jembatan berbatu

Sedang aku di sini
masih berkelana dalam rimba keengganan
sepanjang waktu

Semburat rona yang membuncah dari parasmu
menyiratkan betapa kau mencintai aku
melebihi hidupmu sendiri
namun selalu aku membantingnya
tanpa perasaan
hingga luruh engkau
dalam kecewa maha dahsyat

Di rumah aku memang remuk tak berbentuk
tapi mestinya tak di sini di depan ketulusan
yang kaupancangkan
mestinya kupahami engkau setulusnya
dari lubuk terdalam hatiku

Akankah ada maaf
setelah semua yang kuhamburkan ini?

Esok
tatkala fajar membuka mata
aku akan datang
meraih tanganmu
untuk kucium sepuasnya
jika itu mampu menghapus segenap dosa kemarin

Di sini
gerbang suatu pagi
aku hanya ingin menangkap senyummu
penuh cinta
dan menyimpannya dalam hati
selamanya



Sebuah Pertanyaan




(rinai usai dzikir)

Apa yang kaupinta
saat khusuk bersimpuh
di rumah tuhan
bila keluar dari sana
kaupaksa saudaramu
memercikkan tuba
ke wajah teduhmu sendiri?

(menangis wudlu
atas putih tasbih
pepujian hening
sang maha)



Minggu, 31 Januari 2010

Suara Kecil Seorang Ayah



Anakku...
ayah kangen nak
tapi ayah hanya mampu melihatmu dari sini
sebuah tempat yang sangat jauh
ayah tak bisa menyentuh apalagi memelukmu
sebagaimana selalu kaunikmati waktu kecil

Ayah tak bisa menyeka airmatamu saat kau lara
ayah tak mampu menjawab dengan kata yang bisa kaudengar
saat bertanya di mana ayah
ini sangat menyakitkan nak

Kesendirianmu,
kesunyian yang senantiasa menghadirkan ngilu hatimu
kecemburuan yang selalu tak mampu kauusik
manakala matamu menangkap kemesraan di sana
itu semua pahit nak
ayah tak bisa berbuat apa-apa di sini

Maafkan ayah hanya berharap
engkau bisa belajar mencerna rasa kehilangan
tanpa mengeluh
ayah hanya bisa berdoa
semoga kepahitan membuatmu teguh dalam badai

Sebuah harapan terang
semoga bisa membantumu menemukan jalan lapang
agar sedikit waktu yang kaujalani
bisa menawarkan keindahan
dan kau tak kehilangan sebutirpun
impian yang kautata untuk masa depan

Percayalah anakku
kau memang tak memiliki aku seutuhnya
namun kau sama seperti mereka
kau berhak menikmati semua tanpa kegetiran

Ayah mencintaimu nak, sangat mencintaimu



Sketsa Bianglala



Selembar bianglala
meremuk tak tereja bentuk
di lengkung retak
cakrawala

Lihat!
alangkah giris senyum gerimis
telah lelah ia berucap
kepada berlaksa pasang mata
yang setia menyimak
gugus fenomena alam itu

Apa yang bisa kuperlihatkan lagi
sekarang
kalau tak lagi bisa dibedakan
mana pelangi mana mendung

Apakah sejarah panjang semesta
mesti usai di sini
sedang sesungguhnya
ia masih mampu mencipta
kelakkelok jalan berwarna

Ataukah sudahi saja tengadah
lalu diam menatap hujan
di depan
dengan pandang jauh dari takjub
sebab di balik tirai hujan sana
hanya tampak
fatamorgana tua renta

Jika dan Hanya Jika



Jika atas nama cinta
kauberi aku nestapa
maka biarkan curah angin
memburumu untuk menghapus
segala daki

Jika atas nama cinta
kautebar rasa gundah
di tiap celah pori tubuhku
maka biarkan pelangi
yang berkibar
antara pokok kaktus
melebur warna sekelabu jelaga

Jika atas nama cinta
kaubungkus selaksa tanya
dalam beku kabut
maka biarkan aku mengucap
sekalimat penghabisan
"kuantar kau
pada setapak jalan
lalu terbanglah
ke nirwana
bersama
cintamu sendiri"



Sabtu, 30 Januari 2010

BBB: Bank Brankas Bantal



Video spy cam. ATM skimmer. Cyber crime. Walah! Canggih benar! Atau, sebenarnya biasa-biasa saja. Otak saya saja yang ketinggalan kereta. Ya, bolehlah dituduh demikian. Karena memang istilah-istilah tersebut sangat asing di pendengaran dan penglihatan saya. Baru saya ketahui setelah media massa ‘menaikdaunkan’nya terkait kasus fenomenal, pembobolan ATM.

Biarlah Ruby Alamsyah saja yang bicara tentang ‘makhluk-makhluk canggih’ di atas. Beliau adalah pakar forensik digital. Bagaimana PIN bisa terekam?

Menurut Ruby, perekaman PIN dilakukan dengan cara konvensional, yaitu memasang video spy cam (kamera pengintai). Alat itu mengarah ke keypad ATM sehingga ketika nasabah mengetik PIN akan terekam. Kamera pengintai itu diletakkan pada jam-jam ketika ATM dalam kondisi sepi. Sebenarnya, pengguna ATM bisa dengan mudah mengenali kamera pengintai itu. Kamera pengintai milik bank biasanya focus ke wajah, sedang kamera pengintai palsu mengarah ke keypad!

Selain kamera pengintai, penjahat juga memasang alat yang disebut ATM skimmer. Bentuk ATM skimmer sama seperti ATM asli. ATM skimmer itu tertempel di mulut ATM asli. Saat nasabah memasukkan kartu ATM, skimmer akan merekam semua data di kartu ATM. Data tersebut terekam di kartu memori skimmer. Data yang sudah didapat ATM skimmer kemudian digunakan untuk menggandakan ATM. Dengan kartu ATM palsu dan PIN yang sudah dimiliki, penjahat kemudian memanfaatkan untuk bertransaksi di ATM. Karena seolah-olah legal, pihak perbankan biasanya menganggap transaksi tersebut sah.

Untuk menghindari pembobolan via ATM, nasabah harus mengetahui mana tipe ATM skimmer yang asli dan mana yang palsu. Skimmer ATM sdli biasanya kokoh. Tidak bergerak-gerak. Waspadai juga jika di mesin ATM atau alat penggesek kartu kredit/debit ada tempelan tambahan yang bukan berasal dari bank, misalnya nomor pengaduan palsu. Biasanya kalau bukan asli dari bank, ada bekas-bekas perekat, seperti lem, isolasi, atau double tape. (disarikan dari Tabloid Nyata edisi IV Januari 2010).

Saya tak tahu, apakah dengan tidak punya rekening di bank merupakan sebuah keuntungan atau tidak. Intinya, bahwa saya sedang tidak punya uang besar, jelas iya. Tapi kalau kelak Tuhan memberi saya rejeki lebih, masa sih harus saya pakai cara jadul lagi, menyembunyikan uang di bawah bantal? Siapa tahu para penjahat sudah lupa dengan cara usang itu lantaran ingin ikut bercanggih-canggih dan tak mau dianggap penjahat ketinggalan zaman, dengan melakukan cyber crime. Mungkin nggak sih? Hahaha… Anggap sajalah ini pikiran orang yang lagi judeg alias sebel alias geregetan. Bagaimana mau tidak repot ya. Beli brankas pun bisa saja digotong beramai-ramai. Alarm yang tulit-tulit mah kecil banget melumpuhkannya. Jangan-jangan sang penjahat malah mematikan bunyinya sambil bersiul-siul, seolah berkata, “Ah, lebih merdu siulanku!” Nah lho!

Sekarang, terserah saja. Mau pilih yang mana. Nabung di bank, monggo. Beli brankas bergembok raksasa, silakan. Atau, mau yang jadul, menyimpan di bawah bantal, boleh juga.

Mungkin yang penting adalah memantapkan hati, meneguhkan iman, bahwa segala yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan. Kalau tiba-tiba raib, lewat cara apa pun, barangkali memang sudah saatnya diambil. Masa sih tidak diikhlaskan, wong yang mengambil yang punya, hayo! Buktinya ketika masih diamanatkan kepada kita, aman-aman saja walaupun tergeletak di lantai, atau bahkan sudah jatuh berhari-hari di jalan masih bisa ditemukan. Setuju, atau tak setuju, monggo mawon…

Eeehmm…, sebentar. Uang di bawah bantal saya masih ada berapa ya?

Tamparan Tavi Gevinson



Nduk…

Saya tersenyum sendiri membaca kejengkelanmu di sebuah tabloid. “Menjengkelkan sekali,” cetusmu. “Orang-orang mengeluh, menyebut generasi saya bodoh. Tapi begitu saya menunjukkan kalau saya punya otak, mereka bilang saya palsu!” Saya tersenyum karena beberapa alasan. Kata-kata itu tak akan terasa menggelitik kalau yang melontarkannya adalah orang dewasa. Tapi itu semua dari bibirmu, bocah 13 tahun! Sementara di banyak belahan bumi ini, sebagian besar bocah seusiamu tengah bermanja-manja di ketiak ibu-bapaknya, bicara tentang rupa-rupa permintaan demi kesenangan sesaat, sebagian lainnya mungkin tengah tak acuh dengan tugas-tugas sekolahnya, tak peduli akan naik kelas atau tidak pada akhir tahun pelajaran, dan banyak lagi tingkah polah khas para bocah yang kerap bikin geleng-geleng kepala orang-orang yang menyayanginya.

Kau beda, Nduk. Kau memang tak tinggal di kawasan yang gemerlap, melainkan di kawasan sepi di barat Chicago. Namun kau tahu bagaimana membunuh sepi tanpa harus menghadirkan sederet kerasahan. Sebagai bungsu dari tiga bersaudara, putri seorang guru Bahasa Inggris di sebuah SMA, kau tidak terjebak jadi anak manja. Penampilanmu yang biasa, tubuh agak ceking, tinggi 136 cm, berkaca mata, bisa kausulap sedemikian rupa menjadi fashionable. Tentu saja bukan karena kau ingin terlihat nyleneh. Semua kaulakukan lantaran kau memang punya talenta yang tak dimiliki sebagian besar sebayamu. Itu Nduk yang membuat saya tercengang.

Saya tergerak untuk ngeblog baru kemarin sore Padahal, kau sudah berekspresi di dunia maya itu pada usia 11 tahun! Nah, saya ketinggalan zaman banget, kan? Sekarang dunia fashion kaubuat tercengang. Blogmu, Style Rookie, yang baru kauluncurkan pada Maret 2008 telah mencatat prestasi yang luar biasa. Saat ini, kaulah blogger fashion yang paling menarik di dunia. Dan juga paling kontroversial. Ngeblog bagimu jadi semacam proyek rahasia. Siang sekolah, malam ngeblog di kamar tidur, dan orangtuamu tak tahu aktivitasmu itu. Kau memotret bagian majalah-majalah fashion dan mengomentarinya dengan gaya ceplas-ceplos, kadang pedas. Meski begitu, gaya bahasamu terkesan professional dan matang. Kau juga rajin meng-upload foto-foto dirimu yang mengenakan busana kreasimu sendiri, benar-benar memanfaatkan kreativitas dalam memadu-padan.

Kebosanan terhadap aturan-aturan baku di sekolahmulah pemicunya. Aturan ketat dalam berpakaian. Tidak boleh menulis sesuka hati. Nah, dengan blog itu, kaurasakan pikiranmu seperti menulis begitu saja di komputer. Sebuah pelarian yang positif, bukan memilih kabur dari sekolah untuk kelayapan di tempat-tempat dugem, atau memaksakan diri mengenakan aksesoris-aksesoris ajaib ke sekolah yang berujung pada teguran pihak sekolah. Pelarian yang sama sekali tak menuai risiko buruk, sebaliknya malah membuatmu melejit menjadi anak kesayangan dunia fashion. Dalam tempo beberapa bulan. Kau berhasil menarik perhatian publik. Proyek rahasia itu puntak bisa lagi kausembunyikan dari orangtuamu. Mereka tau kau ngeblog setelah menerima permintaan wawancara dari The New York Times. Tidak terlukiskan kekagetan kedua orangtuamu. Akhirnya, mereka pun mendukungmu sepenuhnya. Pengunjung Style Rookie meningkat, dari sekitar 2 ribu menjadi 29 ribu per hari. Desainer-desainer dan editor majalah ternama pun mendekatimu.

Wis to, Nduk. Jangan lagi kaugelisahkan ucapan miring sebagian orang dewasa. Anggap saja mereka cemburu lantaran harga dirinya sebagai orang dewasa terlindas kecemerlanganmu. Kau jawab saja dengan terus berekspresi ya! Lama-lama mereka akan percaya. Lebih baik lagi jika nanti mereka, lantaran terinspirasi olehmu, lantas berjuang untuk berkarya, bukan ngedumel saja sebagai tameng penutup gengsi dikalahkan bocah 13 tahun. Baguslah kau berpikir, anjing menggonggong kafilah berlalu. Kau tetap kukuh dengan hobi fashion dan ngeblog. Biarpun dianggap “cuma anak kecil”, kau tetap berusaha mempertahankan profesionalitas. Wow, profesionalitas! Anak kelas 2 SMP gitu loh! Satu lagi tamparan buat orang dewasa!

Selanjutnya, Nduk, nikmati saja bagiamana semua orang melihat ‘anak muda dan berbahaya’ sepertimu! Kalau sempat kunjungi blog Kediaman Ayah dong, huahahaha….!



Jumat, 29 Januari 2010

Pencabut Rumput




Belum lama kering tungkainya menjejak
rekah menganga
bumi
kemarau

Menjerit lepas
serabut akar terimpit cadas

Tertegun
ia
matanya berkaca
sepuluh jari menggapai
takjub
kelopak dedaun nyaris merapuh dalam genggaman

"jika bisa engkau kembali hijau,"
gemetar bibirnya menyeru,
"mau aku menangis
sampai meleleh dahagamu
agar bisa kutata bait-bait tarian lembutmu
menebarkan wangi savana."


mengembang lalu senyum putihnya
kalau masih
ada yang kauminta
ini
aku hanya punya jiwa
maka ikhlaskanlah aku
mencabutmu untuk kutanam
di sini
taman kecil di mana mataair terus digali


Pelajaran Bang Iwan



Bang Iwan…
Maaf kalau saya sok akrab. Kita tak pernah saling kenal. Abang di sana, jauh. Saya di sini, di sebuah dusun terpencil yang dikelilingi bukit-bukit kapur. Namun seperti penikmat musik lainnya, saya sangat mengenal Abang lewat karya-karya Abang yang dahsyat itu.

Saat mengayuh sepeda ke tempat kerja, di benak saya selalu tergambar Abang tengah melantunkan lagu Oemar Bakri, Ah, sebenarnya saya malu mengutarakan hal ini. Saya adalah saya. Bukan sosok Oemar Bakri dalam lirik ciptaan Abang. Saya tak memiliki tas hitam dari kulit buaya. Dan yang pasti, saya bukan pegawai negeri, melainkan hanya pegawai “luar negeri” dengan gaji yang, alhamdulillah, selalu menyadarkan saya bahwa Tuhan Maha Kaya dan saya tak pernah meragukan kasih sayangnya kepada saya. Memang, kalau mau berhitung secara matematis saya pasti sudah mati kelaparan sejak dulu. Tapi nyatanya sampai detik saya masih bisa makan kenyang dan segar bugar. Benar kan, bahwa saya tak punya alasan untuk meragukan keadilan Tuhan? Oemar Bakri adalah energi yang tak pernah habis menyulut semangat saya, Bang. Terima kasih!

Bang Iwan lahir dengan nama Virgiawan Listanto, di Jakarta, 3 September 1961. Anak kelima dari sembilan bersaudara. Suka baca buku silat dan gemar melahap pisang Ambon. Abang menikah pada usia 19 tahun dengan Rosanna. Abang memang telah menancapkan karakter yang kuat sejak album pertama. Ratusan karya terus mengalir, solo maupun bersama grup. “Musik sudah jadi jalan hidupku,” kata Abang.

Banyak hal yang pernah Abang lontarkan di media massa hingga saat ini masih saya ingat dengan baik, karena saya selalu merekam kalimat-kalimat penting yang lahir dari kejujuran Abang. Di antaranya adalah pernyataan yang sangat menggelitik saat sebuah tanya tentang kemungkinan go international dilontarkan, Abang menjawab, “Ada!” Tapi untuk mengemis, nanti dulu. Artinya, bahwa Abang harus belajar bahasa Inggris, bahwa Abang harus memainkan ini-itu, Abang tak mau. Kenapa? India tak perlu pakai bahasa Inggris. Cina tak perlu pakai bahasa Inggris. Lagu-lagu Afrika bisa mendunia, walaupun terbatas. Wah, asyik banget, Bang. Benar juga ucapan Abang. Tak harus menjadi bule untuk bisa diterima bule, walaupun sebenarnya sah-sah saja. Namun pendirian Abang untuk tetap menjadi diri sendiri sungguh menyengat kesadaran saya.

Abang cuma ingin bahasa Abang didengar, karena bahasa itu yang bisa Abang hayati. Tanpa penghayatan, ya omong kosong. Abang bekerja saja. Kalau memang fibrasinya sampai ke luar, ke luarlah. Abang punya keyakinan itu. Dari dulu sampai sekarang tetap di sini tempat Abang. Mudah-mudahan bisa tembus ke luar negeri tanpa berubah posisi. Kalau Abang berubah, Abang takut tercabut dari akarnya. Karena informasi terbanyak Abang dapatkan di sini. Abang akan berusaha tetap di sini. Toh kita punya satelit, yang dapat menjangkau ke mana-mana.

Dunia tarik suara sudah Abang geluti sejak kecil. Lagu-lagu Koes Plus dan Panbers kerap Abang nyanyikan kala itu. Akibat ngamen sejak di bangku SMP, membuat sekolah Abang berpindah-pindah. Tamat SD di Jakarta, masuk SMP di Bandung. Kemudian balik lagi ke Jakarta. Sempat mencicipi SMA di Yogyakarta, sebelum menyelesaikannya di ibukota pada 1979. Karena orangtua Abang, pasangan Haryoso dan Lies, mengharapkan Abang jadi sarjana, Abang memilih kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik, sembari terus ngamen. Album pertama, Oemar Bakri, 1981, membuat Abang popular. Dunia ngamen pun Abang tinggalkan. Popularitas dan kesibukan show membuat kuliah Abang terbengkalai.

Getir, Bang. Ironi yang paling getir memaksa saya terjerembab pada kubangan rasa malu. Kuliah saya, Bang. Remuk justru bukan karena popularitas dan kesibukan seperti yang Abang alami. Akan tetapi semata-mata karena sebuah kecerobohan, bahkan kebodohan dalam mencerna arti sebuah kesempatan emas. Walau sekian tahun kemudian saya bisa menebus kesalahan itu, namun tetap saja rasa bersalah tak pernah bisa dihapus dari ruang kesadaran saya.

Ya, sudahlah. Tanpa bermaksud membanggakan kesalahan, saya, walau getir, berusaha menerima itu semua sebagai pelajaran berharga. Pelajaran yang selalu saya sampaikan di hadapan anak-anak saya, para siswa, setiap saat saya mengingatnya. Bahwa kebodohan tersebut tak perlu terulang lagi pada siapapun.

Terima kasih, Bang Iwan. Abang adalah legenda sepanjang masa!