Jumat, 28 Agustus 2009

Cerpen Misteri: Saat Kelelawar Terbang Rendah


Oleh Ayah

(Catatan Ayah: Cerpen ini saya kirimkan pada ajang Lomba Cipta Cerpen Remaja (LCCR) Tahun 1995 majalah Anita Cemerlang. Alhamdulillah, masuk daftar 75 Naskah Layak Muat. Dipublikasikan pada Edisi 537, 29 Feb. s.d. 10 Maret 1996. Terima kasih, Anita Cemerlang. Jujur, kepergianmu menorehkan kehilangan yang sangat dalam di hati saya, sebab kala itu saya baru belajar merangkak, belum sampai besar dalam bimbinganmu. Apalagi setelah kau tiada, nyaris tak ada lagi majalah (kumpulan cerita) remaja sehebat kamu dalam membesarkan penulis-penulis pemula. Namun, ini tak menyurutkan semangat saya untuk terus berkarya!
Di majalah Anita Cemerlang pula dipublikasikan CERPEN PERTAMA saya berjudul “Gaung Suara Hati” (Edisi 383 tahun 1991). Hingga majalah ini berhenti terbit, memang hanya 5 cerpen karya saya berhasil dipublikasikan. Namun, lebih dari itu, ada sebuah keberhasilan tertinggi yang saya capai bersama Anita Cemerlang, yakni TUMBUHNYA RASA PERCAYA DIRI mampu turut berkiprah di jagat prosa tanah air, meski saya lahir dan besar di sebuah desa kecil, bernama Kalipare, Kabupaten Malang.
Anita Cemerlang, saya bangga pernah menjadi bagian dari sejarah hidupmu yang melegenda!)



Di luar begitu dingin. Nyala lampu pijar di kanan kiri teras nggak mampu menghapus suasana kelam karena mendung di langit begitu pekat. Sulit diterka kapan hujan bakal turun ke bumi karena seringkali mendung cuma berarak sesaat lalu pergi.
Berdiri menggigil di ambang pintu depan Gilang bertanya-tanya. Ini malam ketujuh binatang kecil itu terbang rendah mengitari kamarnya dengan cericit keras memekakkan. Entah lewat jalan mana lagi ia masuk, padahal setelah dua malam berturut-turut kemunculannya, Gilang telah menyumpal setiap lubang yang ada. Aneh sekali ternyata ia tetap bisa masuk. Apa sih yang dicarinya?
Sekonyong sebuah tepukan hinggap di pundaknya. Gilang tersentak. Menoleh, sekulum senyum menyambutnya. Buru-buru ia buang kembali pandangan ke arah depan dengan dengusan nggak suka.



“Sudah larut, Gil,” Aldi, sosok mengejutkan itu, berkata.
“Anak kecil juga tahu sekarang larut!” balasnya kaku.
Tapi Aldi terlihat begitu sabar. Harus sabar. Walau selalu ucapan pedas diterimanya. Hanya Tuhan yang tahu. Setiapkali berhadapan dengan cowok bermasalah itu, selalu bayangan buruk masa lalu melintas-lintas di pelupuk matanya. Sangat sulit mendekati Gilang, apalagi mengajaknya bicara. Perasaannya yang labil membuatnya gampang sekali tersentuh dan meledak. Butuh ekstra kesabaran untuk bisa mendekatinya. Sangat melelahkan. Namun Aldi tak punya pilihan lain. Harus terus berusaha. Bagaimanapun ia nggak ingin peristiwa pahit itu terulang di sini.
“Masuklah, udara malam nggak baik untuk kesehatanmu…”
“Baik untuk kesehatanmu, ya? Makanya semangat betul kamu keluar!”
“Aku cuma mengingatkan…”
“Aku nggak lupa. Bosan yang pasti!”
“Oke, aku masuk. Sampai ketemu besok.”
“Datang saja kalau kamu ingin kita perang!” ancam Gilang serius. “Aku nggak bisa terus nahan kesabaran lihat kecerewetanmu. Sok banget!”

Tapi Aldi telah berlalu. Ada keinginan mengejar tapi urung karena nggak tahu letak kamar Aldi di antara belasan kamar yang ada. Seperti juga ia nggak tahu siapa saja penghuni rumah ini lantaran sejak masuk ke mari tujuh hari lalu ia nggak mau berbagi keakraban sedikitpun. Sebal ditendangnya sebutir batu, dan air kolam di depannya mengecipak saat batu itu terempas ke sana.
Rumah ini bukan sebuah bangunan kuno yang terkesan angker, malah sebaliknya ia terlihat megah dan indah. Pemiliknya yang notabene salah satu orang terkaya di kota ini, sengaja membangunnya khusus untuk tempat kos pelajar SMA. Dirancang dengan gaya moderen agar penghuninya merasa betah tinggal dan selanjutnya bisa belajar dengan tenang. Terletak di ujung sebuah perkampungan agak jauh dari jalan raya, letak yang juga nggak menyiratkan kesan angker. Bahkan kebun luas aneka bunga yang juga milik orang kaya itu- yang memisahkan rumah itu dari rumah-rumah lainnya, selalu siap membuat segar mata siapa pun yang memandangnya.
Tapi Gilang merasa terkecoh karena di rumah ini ia justru bertemu remah-remah kengerian setiap malam. Memang binatang kecil itu muncul cuma seekor setiap malam, namun kalau kemunculannya selalu aneh begitu, siapa tahan? Anehnya ia nggak pernah mendengar keluhan yang sama dari penghuni lainnya. Sebaliknya mereka terlihat begitu krasan, tenang dan damai. Atau, barangkali cuma di kamarnya binatang kecil itu mau muncul? Jangan-jangan, ini cuma ulah Aldi dan teman-temannya yang sengaja ingin mengusiknya sebagai balasan atas keangkuhannya selama tinggal di sini, dan mereka hendak mengusirnya secara halus dengan menakutinya menggunakan binatang kecil itu sebagai alatnya. Kalau benar begitu, dari mana mereka mendapatkan binatang kecil itu? Ah, gampang sekali. Bukankah setiap menjelang senja banyak kawanan binatang kecil itu terbang berseliweran di angkasa? Tentu nggak sulit menjaring beberapa di antaranya. Namun, lewat jalan mana mereka memasukkan ke kamarnya?
Menyesal Gilang pindah ke mari. Tapi harus ke mana lagi? Kembali ke rumah kos lama dengan risiko ditertawakan teman-teman lamanya? Nggak mungkin. Apalagi ia pindah atas kemauan sendiri, dengan meninggalkan kesan nggak enak, ngacir begitu saja tanpa pamit pada siapa pun. Pindah ke lain rumah juga mustahil. Cuma rumah ini satu-satunya yang masih menerima penghuni baru, itu pun ia temukan setelah serasa lepas kakinya mencari rumah lain namun semua telah terisi terlebih yang lokasinya berdekatan dengan gedung sekolah tempatnya belajar. Dekat atau jauh dari sekolah bukankah nggak ada bedanya, karena selama ini kamu toh nggak terlalu peduli dengan apa yang harus kamu jalani? Sindir suara lain dalam hatinya. Melangkah masuk, ruang tamu yang dilaluinya begitu lengang, sesekali saja terdengar dengkuran dari arah beberapa kamar. Lihat, Gil mereka telah tidur pulas agar besok mereka bisa berangkat ke sekolah dengan tubuh segar, masih suara lain dalam hatinya. Tapi kamu…
Aldi lega mendengar Gilang masuk. Sempat resah, jangan-jangan, anak itu nekat lagi keluar malam!
***
alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5403875555965123298" />
Ini kali kesekian Gilang pulang mendekati larut. Entah apa yang dicarinya di luar sana. Selalu berada di jalanan saat teman-teman lainnya sibuk belajar. Pernah karena waswas Aldi mengajak salah seorang temannya membuntuti ke mana sebenarnya Gilang pergi dengan motornya setiap malam. Hanya putar-putar tak tentu arah ternyata, lalu pulang ketika lelah. Cuma begitu. Namun sampai kapan Gilang akan terus begitu? Tentu saja ini nggak bisa dibiarkan. Sebaliknya, harus diingatkan. Mau jadi apa dia kalau sampai sekolahnya hancur-hancuran. Sering bolos dan nggak pernah belajar. Untungnya Aldi dan teman-temannya sempat kedatangan seorang tamu yang tanpa setahu Gilang sempat cerita banyak tentang apa yang sedang terjadi pada diri cowok cuek itu. Penjelasan yang kemudian membuat mereka maklum, dan selanjutnya bersikap lebih hati-hati meski jujur sikap perang yang diperlihatkan Gilang kadang sangat menyakitkan.
Ia yakin malam ini nggak ada sebuah lubang pun yang bisa dijadikan jalan masuk. Sesore penuh tadi ia sibuk menyumbat setiap celah yang ada lebih rapat lagi. Juga diperiksanya secara seksama setiap tempat yang mungkin dijadikan binatang itu sebagai persembunyian sementara. Agak lega walau bayang-bayang kengerian itu nggak sepenuhnya bisa dihapuskan. Direbahkannya tubuh karena keletihan serasa meremukkan tulang-belulangnya Sebentar ia pulas.
Namun beberapa menit kemudian…
Ia tersentak. Dan sebelum sempat menyadari dari arah mana cericit yang memekakkan itu berasal, tahu-tahu terlihat binatang kecil itu telah terbang rendah mengitari ruangan!
***

Di pintu kamar itu Aldi menyandar. Menatap sekeliling. Menggeleng. Kapan kamar ini bisa kelihatan resik dan rapi? Selalu saja acak-acakan!
Sore ini juga aku harus berhasil mengajaknya bicara lebih banyak, tekad Aldi didukung penuh teman-temannya.
“Apa aku masih kaupandang sebagai teman yang menyebalkan, Gil?”
“Kamu ngomong apa sih?!” bentak Gilang kaku.
Aldi melepas senyum. “Sore ini aku ingin mengajakmu bicara dari hati ke hati. Kita kan satu rumah, jadi nggak ada salahnya mencoba saling akrab. Bisa, kan?”
“Cuma omongan itu yang kamu hafal. Apa nggak ada yang lain?” Gilang tersenyum mengejek.
“Ada. Tapi bukankah kita harus memulainya dengan lebih dulu saling kenal?”
“Ah, aku nggak butuh. Aku mau tidur. Keluarlah!” santainya.
Lagi Aldi tersenyum. “Gil…,” ujarnya lebih hati-hati. “Kamu sedang punya masalah, kan?”
“Aku nggak suka kalian ikut campur!”
“Oh, jangan salah terima…”
“Apa lagi? Aku risih terus-terusan diawasi. Memangnya kalian anggap aku apa? Aku bukan orang sinting!”
“Niat kami baik, Gil…”
“Nggak usah memancing. Teruskan bicara beberapa kata lagi, sudah itu keluarlah!”
“Aku nggak ngerti kenapa kamu jadi keras kepala begini.”
“Aku juga nggak ngerti kenapa kamu jadi sok pahlawan!”
“Gilang….” Tekan Aldi serendahnya. “Kami sangat mencemaskan keadaanmu. Jujur sajalah, saat ini kamu butuh teman untuk berbagi. Kenapa nggak kamu akui, kalau dengan melangkah sendiri kamu tetap saja begini? Kami mau Bantu, Gil, karena itu aku datang padamu.”
“Cerewet!” sontak Gilang meraih pintu dan berusaha menutupnya. Aldi dengan sigap berusaha menahannya. Tatapan mereka beradu. Ada bilur-bilur geram di mata Gilang, penuh rasa benci. Namun Aldi terus bertahan dengan kesabarannya. Cukup lama mereka bertatapan. Sampai, terasa tekanan tangan Gilang pada sisi pintu mengendur. Lalu secara nggak terduga cowok keras kepala itu dengan cepat berbalik, dan melampiaskan amarah dengan berkali meninju dinding di depannya. Letih, ia berhenti. Tersedu!
“Aku benci. Benci…,” sendatnya.
“Ayahmu, kan, Gil?” pelan saja suara itu meluncur dari bibir Aldi, namun tiba di pendengaran Gilang terasa bagai sebuah ledakan petir.
Nggak ada jawaban. Tepatnya nggak perlu. Karena kalimat itu sekaligus merupakan jawaban. Aldi terpaksa melontarkannya karena nggak mau melihat Gilang terus menganggapnya main-main. Beberapa saat Aldi menunggu reaksi berikutnya. Nggak ada. Satu awal yang baik. Maka perlahan Aldi melangkah keluar, membiarkan cowok itu sendirian menuntaskan luapan emosinya.
***

Malamnya Gilang nggak keluar, mengunci diri di kamarnya. Tubuhnya terasa lunglai entah kenapa, padahal biasanya nggak begini. Penat sekali. Jangankan mendorong keluar motornya untuk berangkat kelayapan, menggerakkan kaki saja rasanya susah. Bisanya cuma begini, meringkuk di ranjang.
Lamat-lamat dari arah ruang depan terdengar suara beberapa temannya sedang berdiskusi. Ada juga suara ketukan tuts mesin tik. Sesekali juga terdengar keluhan kesal karena sulit mengerjakan tugas sekolah. Suara-suara yang belakangan ini luput dari pendengarannya karena selalu dihabiskannya malam dengan menembus jalanan tak tentu arah. Sebentar saja suara-suara itu terdengar karena selanjutnya ia telah larut dalam pikirannya sendiri.
Gilang ingat ibu. Ingat seribu kepahitan di rumah. Ingat kegerahan yang nggak henti menyelimuti setiap detik hari-harinya dulu. Ingat saat pertama ia memutuskan untuk memulai bangku SMA di kota. Dengan menjauh dari rumah, Gilang berharap hari-hari gerah itu bisa dilenyapkan, dan didapatkannya kembali ketenangan yang sekian lama hilang. Tapi yang terjadi kemudian malah sebaliknya. Nggak ada secuilpun ketenangan di sini, melainkan hari-hari yang senantiasa dicekam kegelisahan. Bayangan wajah ibu yang dirundung sedih selalu mengajaknya pulang agar bisa dekat dengan wanita terkasih itu dan menghiburnya. Namun, sesering itu pula keinginan itu patah manakala datang bayangan wajah ayah!
Hingga menjelang pukul satu tengah malam Gilang nggak bisa memejamkan mata. Sakit di sekujur tubuhnya. Serta ingatan yang nggak putus tentang ibu. Membuatnya sejenak terlupa akan kengerian yang setiap malam mewarnai kamarnya. Memang malam ini nggak terjadi kengerian yang sama. Tapi bukan berarti nggak ada kejadian apa-apa. Sebab, tanpa disadarinya, di salah satu sudut ruang itu, ada sepasang mata kecil tengah mengawasinya!
***

Hari ini Gilang nggak masuk sekolah. Tubuhnya demam. Seharian ia tergolek di ranjang. Tawaran teman-temannya untuk mengantar berobat ke dokter ditampiknya dengan sikap dingin. Ia cuma mau makan sisa tablet yang dibelinya beberapa hari lalu. Tawaran yang sama pada malam harinya juga ditolaknya mentah-mentah. Hingga akhirnya beberapa temannya kerepotan membopongnya ke kamar setelah menemukan tubuhnya tergeletak di depan pintu kamar mandi. Saat sadar, Gilang mendapati dirinya terbaring berselimut. Kamar sepi. Menengok ke meja telah terhidang di sana segelas susu hangat dan beberapa kerat roti. Lemah diraihnya selembar kertas di samping gelas. Dibacanya tulisan yang tertera…
Lupakan pertengkaran itu. Kami buatkan minuman ini untukmu. Makan juga rotinya, ya? Biar lekas sehat. Kamu terlalu letih, Gil. Teman-temanmu…
Gilang meremas kertas itu dan melontarkannya ke lantai. Menatap ke arah pintu. Aldi terlihat berdiri di sana. Beberapa detik saja, lalu pergi. Tetapi sekilas Gilang sempat menangkap sebias cahaya sendu memancar dari mata cowok itu. Bah!
***

Termenung sendiri di kamar. Aldi gelisah. Sampai hari ini Gilang masih tergolek nggak berdaya. Dalam keadaan begitu seharusnya ia mau menerima uluran tangan teman-temannya. Sayang anak itu terlalu keras kepala. Aldi khawatir kalau terus-terusan begitu kondisinya akan bertambah parah.
Peristiwa pahit di masa silam…
Cukup sekali saja, Tuhan, batinnya ngilu.
Malam ini suhu badan Gilang semakin naik. Wajahnya pucat. Tapi dirasakannya tubuhnya dingin menggigil. Dalam bayangannya, antara sadar dan tidak, ia melihat binatang kecil itu datang lagi. Terbang rendah mengitari ruang beberapa kali, lalu secara mendadak menukik dan berhenti dua jengkal saja dari wajah Gilang. Sesaat kemudian ia mendengar semayup suara yang melantun dari kejauhan, suara lirih dan lembut milik perempuan.
“Siapa kamu?” terbata suara Gilang. “Kenapa kamu terus datangi aku? Pergilah, pergi…”
“Aaaah, kenapa sering berakhir seperti ini…,” suara itu terdengar menggema dan timbul tenggelam seolah dimainkan angin. Kenapa harus terjadi? Kenapa?”
“Pergi kamu!” Gilang berusaha mengangkat lengannya untuk mengusir binatang kecil itu, tapi tenaganya terlalu lemah, sebelum uluran tangannya sampai, binatang kecil itu telah kembali mengepakkan sayapnya, terbang rendah mengitari ruang, lalu lenyap.
Tubuh Gilang kuyup keringat. Samar ia melihat beberapa sosok tubuh berdiri di samping ranjang. Seorang di antaranya bergerak mengambil kain kompres dan mulai bekerja. Seperempat jam kemudian dua orang terlihat memasuki kamar itu, Aldi bersama Dokter Beni yang kebetulan buka praktik nggak jauh dari perkampungan tempat mereka tinggal. Aldi memutuskan untuk memanggil Dokter Beni sesaat setelah melihat Gilang mengigau. Keadaan seperti itu nggak mungkin lagi dibiarkan.
Syukurlah, menurut penjelasan Dokter Beni, nggak ada tanda-tanda adanya penyakit serius dalam tubuh Gilang. Hanya, ia dianjurkan untuk banyak istirahat, dan sampai beberapa hari mendatang diharuskan makan obat yang sudah diberikan.
***

Nanap menatap sekeliling, Gilang nggak bisa menekan pergolakan di dadanya. Apa yang bisa kuperbuat beberapa hari ini? Ke kamar mandi saja mesti dipapah. Makan perlu disuapi. Perlu ini-itu nggak bisa terlaksana tanpa bantuan orang lain. Teman-teman terlihat begitu cemas, sementara aku sendiri nggak mau peduli apapun.
Dipejamkannya mata. Terentak-entak perasaannya. Nggak ada rasa dendam dan sakit hati mereka perlihatkan sebagai balasan atas sikap perang yang nggak hentinya ia lancarkan. Sebaliknya, mereka begitu baik dan tulus merawatnya. Oh, kenapa nggak mereka biarkan saja aku terkapar?
Nggak tahan Gilang meraung. Menggulirkan sesal lewat cucuran airmatanya. Nggak ada suara selain tangis itu. Beberapa wajah yang berada di ruang itu pun larut dalam suasana haru.
Lama, baru ia merasa cukup tenang.
“Selamat malam, Sobat…”
Suara itu? Lemah Gilang menengok.
Iwan, karibnya di rumah kos lama, memberinya sesimpul senyum. Dibantunya Gilang menyandar ke dinding.
“Sehari setelah kamu tinggalkan rumah kos kita, sebenarnya aku tahu kamu ada di sini. Tapi kuputuskan nggak menemuimu karena tahu kamu nggak bakal ramah menyambutku. Kupantau saja keadaanmu dengan diam-diam mencari bocoran kabar dari teman-temanmu di sini. Maafkan kalau selama ini aku nyinyir. Karena itu kan, kamu lantas menjauhiku juga teman-teman lama lainnya?”
Gilang tersenyum pahit. Aku yang salah, Wan, batinnya. Kepada Iwan, dulu, ia selalu membagi cerita. Iwan tahu semua kisah hidupnya. Tentang ketidakpulangannya saat libur kemarin. Juga tentang problema dalam keluarganya, yang membuatnya nekad lari sampai ke mari, puluhan kilometer dari kampung halaman yang sekian lama nyaris nggak pernah ditinggalkannya.
Iwanlah yang telah berkisah panjang kepada Aldi cs di rumah kos ini, sehingga mereka pun jadi tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada diri Gilang, dengan begitu mereka nggak perlu menyalahartikan sikap-sikap uniknya selama di sini, sebaliknya mereka mau memakluminya. Dan, Iwan jadi tambah lega melihat teman-teman di sini ternyata begitu baik.
“Maaf lagi kalau selama kamu nggak ada aku nekad membaca surat dari keluargamu, masih kusimpan tapi aku tadi lupa membawanya karena keburu ingin tahu keadaannmu. Ada kabar dari mereka, Gil. Mereka kangen padamu, terlebih ibumu.”
Ibu? Seraut wajah letih dengan cepat membayang di pelupuk matanya. Ah, aku juga rindu padamu, Bu. Sangat rindu. Tapi, sebentar wajahnya berubah sendu. Menatap Iwan, terlihat sorot lain di sana.
“Apa yang selama ini kamu gelisahkan terjadi, Gil…,” lirih Iwan. “Seminggu lalu ayah-ibumu resmi pisahan…”
Gilang tengadah. Matanya mengaca. Sedang apa ibu malam ini? Sendiri merenung? Atau, tersenyum? Mampukah ia tersenyum sementara prahara itu justru telah tiba pada puncaknya? Gilang menerawang…
Dulu. Saat kehidupan sehari-hari keluarganya masih terbilang sederhana. Mereka begitu damai. Makan seadanya terasa amat nikmat. Canda tawa selalu terdengar menyenangkan. Dan cerita mimpi akan masa depan pun kerap menjadi bagian yang sayang untuk dilewatkan. Impian masa kecil. Kelak bila keluarga mereka kaya. Mas Pras ingin punya sebuah rumah yang megah lengkap dengan taman bermainnya. Sementara Mbak Indri mendambakan sebuah mobil keluarga yang setiap libur bisa membawanya keliling kota. Sedangkan Gilang sendiri kepingin punya mainan yang unik-unik dan akan diajaknya teman-teman sekolahnya ikut bermain sepuasnya. Kini, saat mimpi-mimpi indah itu telah menjelma nyata…
Tuhan, kebahagiaan macam apa lagi yang diburu Ayah hingga setega itu berpaling dari kami?
“Dalam suratnya ibumu berpesan, kamu harus menerima semuanya dengan lapang hati, seperti ibu dan kedua kakakmu telah menerimanya. Satu lagi pesan beliau. Secara perlahan kamu harus mulai belajar memupus kebencian itu, karena seburuk apapun menurutmiu, dia tetaplah ayahmu. Cuma itu, Gil. Sedangkan pesan dariku, kalau kamu sudah sembuh jangan lupa untuk sowan ke rumah kos kita yang dulu. Kalau nggak, aku nggak akan sudi menegurmu lagi. Begitu saja. Ah, aku ngantuk banget nih, lagian besok pagi aku mesti ekskul bola voli. Yuk semua, aku pulang!”
“Terima kasih, Wan…” Tapi langkah Iwan telah menjauh.
Saat ruangan kembali hening, baru Gilang sadar. Sejak tadi ia nggak melihat sosok Aldi di antara kerumuman teman-temannya.
***

Seraut wajah sendu itu bergetar dalam genggamannya. Telah dua tahun lamanya foto itu dismpannya, dan ditatapnya lekat-lekat manakala datang rasa rindu. Namun entah kenapa rasa sesal dan kehilangan itu selalu sulit dilenyapkan dari hatinya. Apalagi pada saat seperti ini. Saat dilihatnya dengan jelas kejadian pahit di masa silam nyaris terulang di sini.
Perpisahan! Agh, aku benci kata itu, batin Aldi geram. Nila, di masa hidupnya dulu juga merasakan kebencian yang sama. Sekarang, Gilang! Kenapa mesti terjadi bila ribuan hati jadi terluka karenanya? Akan ada berapa banyak lagi korban berjatuhan. Aldi-Aldi lain. Nila-Nila lain. Gilang-Gilang lain.
Dua tahun lalu Nila terbaring nggak berdaya. Batinnya terluka melihat setiap sudut rumah dari waktu ke waktu hanya berisi pertengkaran yang nggak ada habisnya. Sementara dalam deraan rasa yang sama Aldi sang kakak nggak bisa berbuat apa-apa melihat penderitaan Nila, karena ia tahu nggak akan ada obat yang berarti baginya kecuali kedamaian hati, dan itu nggak pernah didapatnya di rumah. Sampai satu ketika Nila nggak ditemukan terbaring di ranjang kamarnya, melainkan di kamar mandi, sementara di sampingnya tergeletak sebuah botol dan beberapa tablet sisanya tercecer di sekitarnya. Nila dilarikan ke rumah sakit, tetapi nggak tertolong. Dan, ironisnya perpisahan itu tetap terjadi. Usulan Aldi agar berdamai menguap begitu saja. Tinggal Aldi sendirian menguatkan langkah, untung bisa. Kalau nggak…
Menitik airmata Aldi. Diusapnya lembut wajah dalam pigura itu.
“Damaikan hatimu di sana, adikku...,” desisnya lirih.
Nggak terasa tiga jam sudah ia duduk di tepi tempat tidur, mengenang masa silam. Dihelanya napas panjang. Baru terasa kini betapa letih tubuh, batin dan pikirannya setelah sekian hari lamanya ia dan teman-teman berusaha keras membantu menyadarkan Gilang dari sikap salahnya selama ini.
“Selamat malam, Nila. Kakak letih, kepingin tidur. Kakak nggak mau besok telat ke sekolah gara-gara begadang semalaman.” Diukirnya sebuah senyum sebelum akhirnya menyimpan kembali foto Nila di laci meja belajarnya.
Rebah di tempat tidur. Sekilas matanya sempat menangkap sesosok binatang kecil terbang rendah mengitari ruang.
Aldi tersentak. Menajamkan pandangan ketika binatang kecil itu menukik lalu menggelantung pada gantungan baju di belakang pintu. Seperti sengaja, binatang kecil itu menatap ke arahnya. Dan, Aldi semakin terkejut menyadari, sepasang mata kecil itu mirip sekali dengan mata milik seseorang yang sangat disayanginya: Nila! Namun keletihan membuatnya nggak bisa berlama-lama meneliti pemandangan aneh itu.
Cuma ilusi, batinnya sebelum matanya terpejam. Lelap.
Nggak sempat lagi ia melihat, sepasang mata kecil itu menitikkan airmata sebelum akhirnya melesat terbang ke luar kamar lewat lubang angin, dan lenyap di kegelapan langit malam…
Selesai

Tidak ada komentar: