Kamis, 22 Oktober 2009

Uuuuuffhh...!


Oleh Ayah!

Menyebalkan! Setengah jam memelototi layar komputer, di warnet pula, tak sepotong karya bermakna, lahir dari otakku yang sedang bebal. Maka kuputuskan untuk menulis ini saja. Terserah ada yang mau baca atau tidak. Seharian aku terbaring tak berdaya di tempat tidur. Terpaksa bolos kerja, hal yang tak biasa aku lakukan. Benar-benar sebuah keterpaksaan yang melahirkan dosa. Aku merasa bersalah, tapi apa mau dikata, badan serasa luluh-lantak. Radang tenggorokan, penyakit yang entah kenapa demikian mencintaiku sehingga tak sedetikpun mau enyah dari hidupku. Beberapa hari jadi bahan tertawaan lantaran suaraku timbul tenggelam serupa lolongan anjing di tengah hujan lebat berangin kencang. Belum cukup ternyata. Pagi tadi lambung ikut melilit-lilit, maag akut sekongkolan untuk ngerjain aku. Kompak banget! Terima kasih. Teruskanlah, biar sempurna penderitaanku. Eh, belum tuntas rasa sebal, kejahilan berikutnya datang. Giliran migren jejingkrakan di kepalaku, tepat ketika bedug Asar ditabuh. Ya, memang salahku sendiri tadi pakai nantang-nantang segala. Borong gratis tuh penyakit!

Itu sih kalau harus bicara dengan emosi meledak-ledak. Sekenanya! Dan tak menghasilkan apa-apa selain sakit yang makin berdenyut di kepala, dan nyeri yang kian melilit perut.

Namun ketika kekesalan mereda, dan pikiran kembali jernih. Aku harus mengakui satu hal: Tuhan tampaknya sedang sayang padaku. Diberinya aku hadiah penyakit agar aku bisa istirahat sejenak dari rutinitas yang sangat padat mencekik leher. Dengan hanya berbaring di tempat tidur, aku bisa merasakan betapa nikmatnya melemaskan otot-otot yang kaku di sekujur tubuh. Sambil berbaring (tapi jangan dicontoh, baca sambil tiduran, kata para pakar kesehatan mata itu berbahaya!) aku bisa menyentuh lagi buku-buku fiksi yang sekian lama kuabaikan lantaran tak tersisa waktu yang cukup untuk memesrainya. Walau tak bisa kupungkiri, kadang pikiran masih meloncat-loncat ke tempat kerja. Setidaknya dengan lebih banyak waktu untuk relaksasi, pikiran bisa istirahat, tidak dihajar melulu dengan segudang program ini-itu yang formal dan menyesakkan. Perkara ada yang harus terbengkalai, ya sudah, sementara biarkan dulu. Besok saja kalau sudah sehat, bisa digas lagi, dengan kecepatan terukur, sebab kalau ngegasnya kebablasan sama juga bo'ong, jangan-jangan efek sampingnya lebih mengerikan. Waduh, amit-amit!

Makan, apa saja, tak ada enaknya sedikitpun. Terang saja namanya juga sakit. Tapi mengingat perut tak boleh kosong, prinsip memaksakan kehendak wajib dilakukan. Butuh waktu dua-tiga kali lipat untuk sepertiga porsi saja, namun tak apa, yang penting sukses masuk perut dan tak kabur kembali ke luar. Lalu, obat, dengan sedikit ngeri tak boleh juga ditawar. Wajar kan orang sakit makan obat. Kalau sehat walafiat berani makan obat, itu namanya bingung, lihatlah, mungkin baju yang dikenakan barangkali posisinya terbalik (walah, logika macam apa itu, nggak nyambung banget kan? Ya, memang itu tadi kata sebagian kecil orang tua zaman sebelum merdeka dulu! Dan pastinya aku tak percaya sama sekali, walau bisa saja seseorang yang sedang bingung baju yang dikenakannya terbalik!) Selebihnya, merenungkan kenapa seseorang bisa sakit. Agar tak jadi sakit harus bagaimana. Setelah sembuh mesti bagaimana. Bla bla bla!

Ah, ternyata capek juga bicara ngalor-ngidul tak karuan. Stop dulu ya daripada diteruskan malah lebih menyebalkan Anda!

Terima kasih buat yang berkenan baca. Buat yang tidak berkenan baca, terima kasih juga. Pokoknya semua kebagian terima kasih, mumpung mengucap terima kasih masih boleh gratisan!

Selasa, 20 Oktober 2009

Kehadiranmu di Pemakaman Rindu

Oleh Ayah

Tak kubagi renyah tawa musim hujan serupa tahun kemarin
sebab kedatanganmu hari ini adalah ziarah
bagi rindu yang terbaring beku berpeluk luka
ia mati pagi tadi dalam sebuah perang kecil
oleh sebab otakmu membatu lantaran kemarau panjang mengeringkannya

Hendak kautaburkankah kembang rumput yang tak sengaja kaucabut
dalam perjalanan ke sini?
sebaiknya jangan, sekali lagi, jangan
ingat sajalah ini
tak perlu ada sedikitpun hijau
agar kerontang ini abadi

Cucuran airmata sesalmu mungkin bisa berangkulan sesaat
dengan nisan pokok kering kamboja
tapi mungkin tidak dengan merah tanah
sebab sebelum kau datang telah kembali coklat memadat
dan mengeras meski batu otakmu kini melunak

Maaf Televisi

Oleh Ayah

Maaf
dalam satu detik aku memberangusmu
dengan kuhentak paksa remote

Tidak, aku tak membencimu
aku hanya tak hendak menatap
wajah-wajah nan asing berlipstik kata-kata gurih
berujar tentang mimpi-mimpi pongah
dari storyboard yang sedemikian rupa ditata
tanpa rasa, apalagi cinta

Maaf
kujual kau kini
karena ruangmu yang tergadai
tak mungkin tertebus
hanya dengan teriakan terbungkam
surat-surat pembaca di koran
atau demo-demo berurat gemas
bak reality show

Kau kini televisi
telah menjelma sembako
dan baju-baju sederhana
bagi reremah wajah pias nan butuh cinta
dengan cinta

Rabu, 14 Oktober 2009

Gaya Bermotor


Oleh Ayah

Sampai hari ini aku masih melihat pemandangan mengenaskan ini di kampungku! Betapa keselamatan seolah bukan sesuatu yang mahal untuk dijaga. Dua contoh ini cukup untuk bukti. Hanya dua! Faktanya? Tak terhitung, macam-macam gayanya...

1. Tiap hari aku masih melihat sepasang suami-istri, atau sepasang kakak-adik, atau siapalah, kerap menyelipkan seorang bocah (sering balita) di antara mereka berdua DALAM POSISI BERDIRI, tangan mungil sang bocah memegang bahu sosok yang tengah pegang setir di depannya, sedangkan sosok di belakangnya cuma memegang pinggang sang bocah. Dengan kecepatan rata-rata motor yang sedang melaju, aku membayangkan (bukan mendoakan!), andai terjadi sesuatu yang membuat motor itu terpental, pasti sang balita akan terbang lebih dulu. Lalu? Begitulah! Seperti di sinetron-sinetron itulah. Yang bikin aku heran, kenapa hal ini tidak disadari oleh sepasang manusia (yang lebih) dewasa itu? Si bocah sih tahunya ketawa-ketawa senang. Malah belakangan seolah jadi tren mengasyikkan, dan celakanya banyak ditiru. Pak, Bu, Kak, Dik... bocah itu tak akan pernah tahu apa yang bakal terjadi. Tapi kalian tahu, kan?

2. Yang ini lebih aneh! Nyetir motor dengan kecepatan sedang, dengan santainya tangan kiri menempelkan hp ke telinga kiri, ngobrol kadang sambil cekikikan. Tak pakai helm pula. Lagi-lagi aku membayangkan (bukan mendoakan!), andai terjadi sesuatu, alangkah sayang hp itu harus remuk terbanting di aspal. Kok, malah hp yang disayangkan?! Iya sih, soalnya rata-rata hp yang mereka pakai untuk mejeng dengan gaya demikian itu bagus-bagus, sementara aku tak punya yang seperti itu, hehehe... Lha, terus gimana dengan motornya? Ya, maaf-maaf saja kalau soal itu aku tak tahu. Tanya saja mereka, mungkin motor mereka ada beberapa, jadi rusak sebiji masih ada yang lain di rumah. Masuk akal juga sih. Terus, kalau yang rusak badan pengendaranya? Waduh, soal ini aku lebih tak tahu lagi! Setahuku sih di toko-toko tak ada yang jual suku cadang anggota badan yang bisa dibeli sewaktu-waktu dan dipasang dalam tempo singkat pakai mur dan baut! Lha terus?! Embuh!!! Pikir sendiri!


Celana Putih


Oleh Ayah

Lekaslah jahit
sobek pada ujung
celana putihmu

Waktu
kadang terlalu jahat paksakan orang
lihatmu telanjang
menemu segala luka
manakala benang yang lepas
kau biarkan
memanjang

Celana putihmu,
yang dulu tampak
rapi selalu

(121009, pkl. 01.05, usai tahajud)

Sabtu, 03 Oktober 2009

Onthel Ayah!




Percayalah, onthel-ku. Ayah sayang kamu! Ayah cinta kamu! Ayah nggak mau kehilangan kamu!

Sekolahku, Istanaku!

Di sinilah Ayah mengalami metamorfosis terindah sepanjang sejarah hidupnya! Insya Allah, seekor ulat yang amat menyebalkan itu, perlahan telah berubah, dan mulai merakit sayap-sayap mungilnya untuk menjelma rama-rama yang -semoga- bisa menebar keindahan bagi setiap orang yang ditemuinya dalam tiap kayuhan langkah.

Istana ini selalu menawarkan kerinduan baginya, tak habis-habis. Rumah kedua, yang membuatnya sadar untuk terus berjuang menjadi lebih dewasa dari waktu ke waktu!


Nama Baru


Nama Lama


Bapak Abdul Mu'in MDE, Kepala SMP


Bapak Abdul Rokhim, Kepala SMA


Ruang Kepala SMP


Ruang Kepala SMA


Halaman


Gedung Barat



Gedung Utara



Gedung Timur


Lab Komputer & Pak Santo


Koperasi Sekolah



Ruang BK & Bu Warmi


Ruang Guru


Pojok Kantor TU


Parkir Depan


Parkir Dalam


Kantin Bu Sugeng


Kantin Mak Tun


Kantin Mak Wat Kenapa tutup, Mak?



Masjid Tercinta!


XII IPS & Bu Eko


Kelas XII IPA & Bu Isri


Kelas XI IPS & Bu Eko


Kelas XI IPA & Bu Ary


Kelas X B & Pak Widi



Kelas X A & Ayah!


Kelas IX B & Bu Tyas di Lab IPA


Kelas IX A & Bu Tutik


Kelas IX A & Bu Istiqomah


Kelas VIII B & Bu Puspito


Kelas VIII A & Bu Umamah


Kelas VII B & Bu Sulakah


Kelas VII A & Pak Pardi


Pak Zaini & Pak Agus


Pak Masyhudi, tampang boleh galak, tapi hati lembut bangeeet...!


Ibu HS Tyas. Senyum Monalisa, ehem!




Bu Yuli TU
Trio TU, Pak Zaini, Pak Masyhudi


Mas Imam Ghozali, "pemilik Hotel JS", hehehe...!


Ini dia Idola Ayah. Namanya Pak Sumarto. Terima kasih, Pak udah ajarin Ayah disiplin & tanggung jawab! Salam Hormat!


Trio Adi Setya - Rokhim - Sonhaji. Abis sholat, good...good...!


XB Putri, capek abis olahraga!


Nah, yang ini sepatu rombeng Ayah abis dibenahi Pak Mariadi. Murah banget ongkosnya, Pak. Makasih ya!