Rabu, 30 Desember 2009

Lodeh Pelepah Talas




Sarapan hangat dengan lodeh lompong kesukaanku begitu nikmat di lidah. Lompong, demikian kami menyebut pelepah talas. Tak habis pujian akan kehalusan tangan Emak mengubah pelepah talas yang sebenarnya gatal itu menjadi lezat dan tak menyiksa.

Pelepah talas berwarna hijau tua dipetik Emak dari kebun belakang rumah, dipilih yang tidak terlalu tua, dipotong beberapa senti di atas pangkal umbi yang terbenam dalam tanah, dibuang daunnya untuk selanjutnya batang-batang berbentuk bulat panjang itu ditiriskan semalam agar getahnya hilang.

Keesokan harinya, Emak memasaknya, dengan memotong kecil-kecil pelepah talas yang telah tiris semalam, dicuci lalu digongso di penggorengan hingga lunak. Setelah itu, lompong ditiriskan agar airnya yang berasa gatal lenyap. Dicuci sekali lagi, maka siaplah pelepah talas itu dimasak lodeh pedas dengan campuran remah-remah ikan asin yang telah digoreng sebelumnya.

Sungguh menu yang kuakrabi sejak kecil itu jauh dari membosankan. Apalagi bila ditemani nasi tiwul terbuat dari tepung gaplek. Enyahlah daging ayam atau sate kambing.

Sepeda Pancalku Versus Crown Royal Saloon



Delapan ratus juta rupiah! Dapat berapa biji kalau uang sebanyak itu semua dibelikan sepeda merek "Entah Apa" semacam kepunyaanku? Jawabannya, BANYAK! Dijajarkan di Stadion Senayan pasti penuh sesak sampai ke kursi-kursi penonton.

Delapan ratus juta rupiah! Sebagian pasti dari urunan receh ayahku sebagai pajak sepetak tanah yang sudah pasti hanya menghasilkan sekuintal-dua kuintal gabah sisa ribuan gelatik yang superjail. Dan, tentu saja hasil urunan jutaan rakyat negeri tercinta ini.

Delapan ratus juta rupiah! Biaya hidup emak dan bapakku ditambah lima anak serta sepuluh cucu, sejak mereka lahir hingga detik ini pasti belum mencapai bilangan itu. Dan, cling!, bapak-bapak berdasi dan ibu-ibu bersanggul mendapatkannya dalam bentuk mobil supermewah yang konon bikin pengendaranya tidak terganggu pulasnya meski menggasak jalan makadam. Ouw, jadi pengeeen...sebentar saja membuktikan kecanggihannya. Tapi kapan? Malam nanti dalam mimpi? Kalau muncul. Kalau tidak....

Delapan ratus juta rupiah! Delapan ratus juta rupiah! Delapan ratus juta rupiah! Benar memang "cuma" segitu nilai sebiji Crown Royal Saloon? Percaya tak percaya apa gunanya. Wong diduga 1,3 M dibantah. Ya wislah, percaya saja!

Delapan ratus juta rupiah! Ah, kenapa ya, saat mengingat jumlah itu, sepeda pancal yang kukayuh deritnya terasa makin keras menyayat-nyayat gendang telingaku, dan mengalirkan perih ke sekujur tubuhku. Lho, kok tiba-tiba aku jadi mellow?! Ah, tidak benar ini. Lupakan, lupakan, sekarang. Tidak boleh cengeng. Bukankah sebelum jumlah itu kaudengar, kau selalu menikmati derit sepeda pancalmu laksana melodi yang mendamaikan hati? Ayo, teruskan menyehatkan badan dengan terus mengayuh sejauh-jauhnya, teriak hatiku sangat lantang. Lihatlah, bahkan seorang Barrack Obama mau naik becak dengan senyum tersungging manis. Huss! itu bukan Obama betulan! protes sebelah hatiku. Oya?! Jadi?!

Jadi, lupakan Barrack Obama naik becak, lupakan Crown Royal Saloon, lupakan delapan ratus juta rupiah. Lupakan semua sebab itu tidak penting! Lantas apa yang penting? Yang penting adalah lanjutkan perjalanan hidupmu dengan sepeda pancalmu. Jangan kaubuat ia cemburu dengan berselingkuh-pikir dengan hal-hal tak penting di atas. Selesai!

Aku mengangguk-angguk dalam hening. Sekilas kulirik sepeda pancalku. Ia seolah mencibirku dengan senyum sinis melihatku gundah. Baiklah, sepeda pancalku, cintaku, maafkan aku!

Rabu, 23 Desember 2009

Wow, Indah Sekali!!



Oleh Ayah!

Di Lebanon, Hadil, seorang gadis muslim penderita kanker berpose bersama seorang pria yang berdandan ala Sinterklas. Si Sinterklas membawakan Hadil bingkisan dan menghibur gadis yang tengah berjuang melawan penyakit mematikan itu. (Jawa Pos, Sabtu 12 Desember 2009)

Berbahagialah, Hadil. Luka batin yang mencederai masa mudamu memang tak mudah disirnakan hanya dengan hiburan. Juga keganasan yang menggerogoti tubuh mungilmu tak gampang dicerabut hanya dengan sebuah bingkisan. Tapi aku yakin kau pasti bisa merasakan kesejukan yang lahir dari sebuah ketulusan yang tak tersekat oleh apapun. Senyum yang tersemat di bibirmu telah cukup menjelaskannya. Tak kurang sorot luka matamu akibat pedih tak tertanggungkan masih mampu mengirim pendar sukacita kepada dunia. Perhatian itu mungkin tak bisa memperpanjang langkahmu, namun setidaknya akan memperluas cakrawala hidupmu akan indahnya kerukunan, kepedulian, serta kebeningan cinta kasih.

Hadil dan Bapak yang berdandan ala Sinterklas. Semoga kisah kalian ini menjadi inspirasi bagi miliaran hati yang bertebaran di segala penjuru bumi. Kedamaian sesungguhnya bukanlah hal yang sulit untuk diciptakan. Berbagi juga tak harus dengan sesuatu yang tak terjangkau, sebab di dalam diri kita telah tersedia banyak elemen tak kasat mata yang siap dibagi kepada sesama kapanpun kita mau. Jika setiap hati tergerak untuk melakukannya. Berlebihankah kalau kunyatakan bahwa telah lahir sebuah surga yang menakjubkan di atas peradaban yang kian renta ini? Tak ada lagi desing mesiu. Tak ada lagi gelombang angkara murka. Tak ada pula wajah-wajah polos yang tak tahu apa-apa menjerit berdarah-darah. Alangkah indahnya!

Hadil dan Bapak yang berdandan ala Sinterklas. Orang-orang seperti kalian selalu saja menghadirkan kerinduan tak terkatakan di dasar lubuk hatiku!

Sri ‘Kan Di…( apakan Sih?! )



Oleh Ayah!

Maaf, Jeng Sri. Saya kurang tahu apa yang sebenarnya tengah menimpamu. Kata orang, lewat kabar dari televisi, koran, internet, radio, dan sebagainya, Jeng Sri tengah dalam sutuasi sulit, tersudutkan, dan itu pasti menyakitkan. Sekali lagi, maaf, Jeng Sri. Hal apa yang tengah bergelayut dalam hari-harimu kini saya tak banyak tahu. Dan, memang, saya tak berminat untuk mengetahuinya lebih jauh, sebab saya tak suka sama sekali kabar-kabar beraroma konflik atau perseteruan.

Mengapa demikian? Jawabannya, sederhana. Setiap hari saya sudah cukup kenyang (terpaksa) menyantap aneka hidangan konflik di warung kehidupan saya. Oleh karena itu, ketika membaca koran, menonton televisi, atau jalan-jalan ke warnet saya benar-benar tak ingin bersentuhan dengan hal apapun yang bermakna konflik. Saya hanya butuh yang indah-indah, yang manis-manis, dan bisa membuat rasa pahit dalam hidup saya mencair, lalu kembali ke rumah dengan perasaan lapang, meski bisa jadi esok hari akan mengunyah konflik-konflik berikutnya. Tak apalah, toh sebelumnya masih ada kesempatan mencecap rasa manis kehidupan.

Jeng Sri… Perihal diri dan kehidupanmu pun hanya sedikit yang saya ketahui. Namun, percayalah, yang sedikit itu semua adalah hal-hal indah tentangmu. Jeng Sri adalah perempuan hebat, yang terbukti layak disandingkan dengan perempuan-perempuan hebat lainnya di planet bumi ini. Sumbanganmu bagi kemajuan negeri ini pun tak perlu diragukan kualitasnya. Jeng Sri adalah segelintir dari jutaan perempuan yang telah berhasil membuktikan keperkasaan di tengah dominasi lelaki. Jeng Sri benar-benar Srikandi yang tak gentar menghadang rupa-rupa kepengecutan sekaligus kemunafikan yang tak henti-hentinya menampar wajah negeri ini, dengan senjata yang bahkan tak setiap lelaki perkasa memilikinya, yakni kecerdasan dan kejernihan bertutur, di atas kapal besar yang terus-menerus dihajar badai dan sewaktu-waktu bisa karam bersama paras lembutmu.

Sejauh ini semua memang masih samar. Kebenaran dan kesalahan masih tak jelas ditirai kabut tebal nan pekat. Tapi, tenanglah, Jeng Sri. Sekiranya kelak Jeng Sri dinyatakan bersalah, tak sedetikpun waktu saya untuk menyesalinya. Saya percaya di dasar lubuk hatimu tak pernah ada keinginan untuk meremukkan negeri ini. Saya percaya Jeng Sri pasti menganggap negeri ini sama berharganya dengan hidup Jeng Sri sendiri. Sebaliknya, seandainya kebenaranlah yang berpihak kepada Jeng Sri, berhati-hatilah, sebab bukan mustahil keberadaanmu sebagai insan berbudi akan terus diuji.

Selamat berjuang, Jeng! Bagi saya, jika benar semua gading retak, retakan pada sebagian sisi hidupmu memang bukan ornamen yang akan mempercantik tampilanmu. Paling tidak, retakan itu akan menjadi saksi abadi ketidaksempurnaanmu sebagai manusia biasa. Semoga kita semua senantiasa ingat betapa penting menjaga diri, dan tak enggan untuk sering berkaca, agar wajah kita selalu terlihat jelas perubahannya seiring berjalannya waktu.

Selasa, 22 Desember 2009

Ironi Avatar



Oleh Ayah!

12 tahun yang lalu, James Cameron mengguncang dunia dengan karya fenomenal, Titanic. Memang dahsyat. Kali pertama saya menyaksikan sebuah film sampai empat kali namun tak merasa bosan. Dua belas tahun setelah film terdahsyat sepanjang sejarah itu diluncurkan, sosok jenius itu hadir lagi dengan sebuah karya fantastis, Avatar. Saya memang belum sempat menontonnya, tapi saya percaya seorang Cameron tidak akan mempertaruhkan reputasinya untuk sebuah karya ecek-ecek belaka. Dan, lagi-lagi, dunia menjadi saksi bahwa dua belas tahun bukanlah perjalanan yang sia-sia. Memang hebat Mas Bule satu itu, hehehe...

Ya, jelas sangat tidak lucu kalau saya bercerita banyak tentang Avatar, yang belum saya tonton. Kesannya sok tahu banget. Makanya saat ini saya memilih untuk sampai di sini saja bertutur tentang film berbudget "ugal-ugalan" itu. Lantas?
Saya munculkan saja "sok" yang sebenarnya saya rasakan saat ini. Sok merenung. Sok melankolis, dengan mengilas balik masa lalu. Dan entah sok apa lagi.

12 tahun bukan masa yang pendek untuk sebuah perjalanan hidup. Kalau dihitung mundur dari tahun ini, seorang anak manusia yang berkesempatan menghirup udara bebas hingga mencapai bilangan usia belasan tahun itu (dan bersekolah), kurang lebih sekarang ia duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, bahkan kelas tujuh SMP.

Menjadi getir terasa ludah di mulut saya mengingat waktu sepanjang itu. Dua belas tahun lalu saya begitu-begitu saja, alias tak ada hal istimewa lahir dari otak saya (yang memang tak seberapa cerdas) ini. Hari ini, dua belas tahun kemudian, saya masih tetap begini-begini saja. Memang kurang bijak sih, membandingkan seorang saya dengan sosok sebrilian James Cameron, tidak nyambung sama sekali. Namun tidak berarti saya harus mengampuni diri sendiri dengan mengatakan, ya sudahlah apa mau dikata, wong kenyataannya saya dan Bang James memang berbeda, lalu selesai. Kalau saya sampai berpikir demikian, bukan mustahil dua belas tahun kemudian status begitu-begitu saja atau begini-begini saja akan tetap tegak menjulang sebagai bangunan berkarat yang amat memalukan. Tentu hal itu tidak boleh terjadi. Terus, apa yang harus saya lakukan agar status tersebut bisa berubah? Sebuah pertanyaan besar yang tidak gampang untuk dijawab, namun juga tak boleh dibiarkan terus berkibar-kibar tanpa kejelasan. Intinya, dua belas tahun kemudian harus ada perubahan yang (walau tidak sedahsyat yang diciptakan Mas Cameron) menjadi sebuah jawaban penting yang membuktikan bahwa waktu sepanjang itu tidak berlalu dalam keberkaratan. Minimal, didorong oleh rasa malu terhadap Mas Cameron, saat ini saya mulai berpikir untuk menata diri agar status di atas berubah menjadi "tidak begitu-begitu saja" atau "tidak begini-begini saja".

Nah, bagaimana dengan Anda?

Peluh Emak


Oleh Ayah!

Aku tahu, Mak
engkau tak tahu
ini hari adalah tentangmu
sebuah penghargaan
yang tak juga kaupikirkan
sebab memang hanya istilah
dan berada jauh
di luar jangkauan hatimu

Hari-harimu, Mak
hanyalah tetes peluh
yang kauharap menjelma
bulir-bulir beras
demi anak-anakmu
tak mengeluhkan perih

Kalau hari ini
aku tak berucap sepatahpun kata
sebagaimana jutaan anak mendengungkannya
bukan niatku durhaka, Mak
aku hanya tak ingin slogan itu
mencederai keyakinanmu
akan tuah sebuah kerja nyata
sementara hingga detik ini pun
janjiku untuk bahagiakanmu
masih sebatas bilangan kata-kata

Juga aku tahu, Mak
bahwa kau memang tak membutuhkannya
sebab peluhmu yang selalu menetes
dan nyaris tak kering di tengah lelahmu
adalah monumen terindah nan tak tergantikan
apalagi hanya dengan untaian manis kata
namun jika pun aku perlu melangkah ke haribaanmu
satu yang akan kulakukan
adalah menyeka peluh di wajahmu
dengan jemari yang dulu selalu kaugenggam
penuh cinta, tanpa kata
dan hanya mata
yang pasti tak putus melelehkan pedih
sebab masih hanya itu bisa kulakukan

Maaf, Emak...

Rabu, 09 Desember 2009

Headline



Oleh Ayah!

Berapa lama lagi? Melihat halaman utama koran kita hanya berisi kabar yang itu-itu saja. Capek! Jadi, maaf-maaf saja wahai para pembuat koran. Selama kabar yang itu-itu saja itu muncul, saya akan terus asyik membuka-buka halaman lain, mencermati artikel-artikel kecil, menemukan kabar-kabar indah, kabar-kabar menyenangkan, bukan kabar yang membingungkan publik tentang perkara besar yang makin dibesar-besarkan, membuat orang-orang besar makin besar namanya, dan pastinya, membuat rasa malasku yang belasan pekan membesar karena disuguhi sandiwara-sandiwara besar menjadi kian membola sebesar-besarnya, dan mungkin sebentar lagi meledak serupa cendawan raksasa bom atom Hiroshima.


Ehem, untung aku cuma pinjam koran-koran itu. Mau beli dengan uang sendiri eman-eman banget, hehehe! Nanti-nanti saja, kalau kabar-kabar ajaib itu lenyap berganti kabar-kabar indah yang menyejukkan hati nurani. Misalnya, tentang prestasi bangsa kita di kancah internasional, misalnya. Atau, kabar-kabar kemanusiaan yang mengharukan sekaligus membanggakan, tentang jutaan nasib rakyat yang terbela hak-haknya, atau tentang orang-orang besar yang ramai-ramai turun dari langit dan dengan mantap menjejakkan kakinya di bumi untuk bertemu jutaan wajah nestapa yang butuh sentuhan lembut, dan sebagainya.

Ya, sementara uang kutabung dulu sajalah!

Membaca Prita



Oleh Ayah!

Koin cinta. Memang hanya receh. Remah-remah. Kepingan. Namun mampu menjawab dengan sangat jernih sebuah pertanyaan besar tentang rasa keadilan di negeri ini. Untuk siapa keadilan dipersembahkan? Prita telah membuktikan bahwa ia bukan sosok terpilih untuk menerimanya!

204 juta rupiah! Saya, dengan gaji dua ratus ribuan, memandang angka tersebut sangatlah fantastis. Andai saya menjadi Prita, sudah pasti saya juga tak akan sanggup membayarnya. Pendek kata, sudahlah mau diapakan nanti terserah saja, pasrah saja. Putus asa? Andai ada harapan yang bisa membuat hati saya kembali mekar, tentu perasaan tersebut tak perlu tercetuskan.

Prita Mulyasari, tentu tak akan bersikap seperti saya, sebab ia adalah sosok tangguh yang mampu menghadapi persoalan ini dengan sangat kuat. Apalagi di sekelilingnya banyak orang-orang yang tak pernah henti mendukungnya dengan penuh cinta. Dan yang paling membuat perasaan saya tergedor adalah aksi solidaritas Koin Cinta. Posko dibuka di banyak tempat, dengan relawan berganti-ganti setiap hari meluangkan waktu demi Prita. Toples, bekas tempat makanan ringan, hingga celengan berbentuk harimau mengaum ada di sana. Semua berisi uang receh.

Bahkan, seorang bocah enam tahun bernama Anabel La Winson rela menyerahkan celengan miliknya. Simak penuturan polosnya saat menyerahkan tabungannya, “Ini tabungan aku untuk beli kucing. Aku sumbangin aja nggak apa-apa,” kata Anabel yang empat gigi seri atasnya tanggal itu. Sebuah komunitas pemulung juga menghimpun dana hingga mencapai Rp 200 ribu. Mundala, mewakili teman-teman pemulung menyatakan, “Kami ikut prihatin.” (Jawa Pos, Selasa, 8 Desember 2009).

Semua orang tahu, seorang Prita Mulyasari tak pernah memilih cobaan ini. Namun, saya percaya, kelak, ketika cobaan ini berlalu, Prita boleh berbangga telah dipilih tuhan untuk menerima “penghargaan” ini! “Penghargaan” yang semoga tak hanya menjadikannya sebagai pribadi yang kian memesona jutaan hati, lebih dari itu, juga tumbuh sebagai sosok yang memiliki ketangguhan tak tergoyahkan oleh badai apapun. Termasuk badai yang dihembuskan dunia peradilan kita.

Jujur, saya malas bicara tentang peradilan kita. Basi!!!!!