Minggu, 30 Agustus 2009

Sajak: Ironi Mimpi

Oleh Ayah

I
Seribu kali kucubit-cubit lengan menyadarkanku
semua bukan mimpi
sejuta kali kutampar-tampar wajah
makin yakin aku
semua memang nyata

Tapi, aduh
dihardik aku oleh bayanganku sendiri
di depan cermin, dimaki
kapan kebodohanmu runtuh
jika kau pikir ini bukan mimpi
kau salah
kau sedang terperangkap dalam mimpi
tubuh dan jiwamu
bahkan tak berdaya untuk membebaskan diri, maka berhentilah
mencubit dan menampar

Ooh, aku tertegun
dalam mimpi pun ternyata
bisa kurasakan sakit

16.06.07, 22.30.01


II
Dan ketika kau bangunkan aku malam ini
separo kesadaranku
masih mematut-matut diri
pada sebilah cermin di alam mimpi
dan ketika kaugamit lenganku
aku bergumam lirih
tunggu sebentar
aku kembali ke alam mimpi
menjemput kesadaranku
yang sekarang mungkin tersesat

28.05.07, 21.57.31

Sajak: Timang-Timang


Oleh Ayah

Usai sudah tugas beratku semalam meninabobokan hati
oh cemasnya aku tadi
kala ia menjerit-jerit minta diayun-ayun
dengan lantun dendang sayang-sayang
tinggal kutunggu kini
apakah kala bangun nanti
ia bertambah dewasa satu malam
lalu esok malam saat hendak tidur lagi
apakah ia tak lagi menjerit-jerit
mampu meninabobokan diri sendiri
dalam pembaringan tak berayun

Kamis Dini 10.05.07 01.23
Persembahan buat yang telah ngemong hati.

Sabtu, 29 Agustus 2009

Cerpen: Sayur dan Asmara


Oleh Ayah

Cerpen ini dimuat di majalah Aneka Yess! (Edisi dan tanggal terbit lupa karena majalah bukti pemuatan hilang. Adakah pembaca setia Aneka Yess! yang bisa bantu melacaknya?)

Alan…
Biasanya, setiapkali dibangunkan Ibu dari tidur lelapnya di samping gundukan karung-karung plastik berisi sayur mayur nggak pernah ada problem. Setiap ucapan Ibu selalu disimaknya dengan senang hati kendati mata merahnya setengah terkantuk. Tapi sore ini lain. Alan menggerutu ketika dibangunkan. Ibu tentu saja heran melihat gelagat itu.
“Kamu kenapa sih, Al? Sakit?”
Alan menggeleng lesu.
“Lantas?” Tanya Ibu lagi.
“Barusan Alan mimpi.”
Mimpi apa sampai uring-uringan begitu?!”
“Mimpi berantakan!” cetusnya kaku.
“Berantakan bagaimana?” bingung Ibu.
“Ya berantakan. Masa dalam mimpi itu Alan berubah jadi cowok minder, mana di depan cewek lagi. Enak aja! Kapan di alam sadar Alan pernah begitu? Nggak pernah, kan?” gerutunya pada diri sendiri.

Jumat, 28 Agustus 2009

Kebimbangan Koko


Oleh Ayah

Berat, memang, bermain-main dengan rasa. Apalagi ketika semua telah berjalan cukup jauh, sehingga jarak yang kaubutuhkan untuk kembali sama panjangnya dengan jarak yang kauperlukan untuk melanjutkan sisa perjalanan. Kedua-duanya sama-sama berisiko.
Slogan yang telah Ayah dengungkan ribuan kali, mungkin baru sekarang terpikir olehmu kebenarannya. Hidup ini indah. Kalau suatu saat kau merasakannya tidak indah, mungkin ada yang salah dengan caramu menjalaninya.
Kauakui atau tidak, selama ini kau terlalu berani berjudi dengan keputusan. Sungguh berbahaya, apalagi yang kauhadapi adalah hati. Tak ada tempat di dunia ini yang sanggup memulihkannya ketika ia terluka, tidak juga jutaan orang yang dengan ringannya menyampaikan petuah-petuah yang didapat dari buku-buku tebal perpustakaan kampus ternama di jagat raya sekalipun. Andai bisa, petuah-petuah itu hanya akan mengeringkan permukaan luka saja, sementara di dalamnya tetap saja merah dan perih sepanjang hidupnya.

Kalau kau bertanya apakah yang kulakukan selama ini salah? Ayah tak perlu menjawabnya, sebab kau telah menemukan jawabannya lewat kenyataan yang tergambar jelas di depan mata dan tak sanggup kauenyahkan barang sekedip mata.
Lantas, aku harus bagaimana?
Pertanyaan besar itu selalu muncul meski jutaan persoalan yang sama telah terjadi. Bukti bahwa kesanggupan manusia untuk belajar dari masa lalu masih sangat memprihatinkan.
Maaf, Ayah terpaksa menjawab pertanyaanmu dengan pertanyaan juga. Apa yang kauinginkan sekarang? Membiarkan hidupmu berjalan tanpa kepastian? Membiarkan luka itu terus menganga dan bertambah dalam? Jika kau tidak ingin, maka hentikanlah. Memilih mungkin bukan pekerjaan yang mudah bagimu. Namun bertahan dengan mendua hati juga bukan keputusan bijaksana. Menyakitkan, tidak hanya bagimu, tapi juga bagi hati-hati yang lain. Kalau kau berani menghentikan kisah itu sekarang, dan memilih, semoga itu menjadi keputusan terbaik walau pasti tak menyenangkan bagi sebagian hati.
Cinta tak seharusnya mengurungmu dalam kebimbangan. Cinta harus membebaskanmu dari segenap gulita dan memapahmu melangkah menuju terang.
Selamat berjuang. Doa Ayah untukmu selalu!

(Dari curhat Koko, SMA)

Cerpen Misteri: Saat Kelelawar Terbang Rendah


Oleh Ayah

(Catatan Ayah: Cerpen ini saya kirimkan pada ajang Lomba Cipta Cerpen Remaja (LCCR) Tahun 1995 majalah Anita Cemerlang. Alhamdulillah, masuk daftar 75 Naskah Layak Muat. Dipublikasikan pada Edisi 537, 29 Feb. s.d. 10 Maret 1996. Terima kasih, Anita Cemerlang. Jujur, kepergianmu menorehkan kehilangan yang sangat dalam di hati saya, sebab kala itu saya baru belajar merangkak, belum sampai besar dalam bimbinganmu. Apalagi setelah kau tiada, nyaris tak ada lagi majalah (kumpulan cerita) remaja sehebat kamu dalam membesarkan penulis-penulis pemula. Namun, ini tak menyurutkan semangat saya untuk terus berkarya!
Di majalah Anita Cemerlang pula dipublikasikan CERPEN PERTAMA saya berjudul “Gaung Suara Hati” (Edisi 383 tahun 1991). Hingga majalah ini berhenti terbit, memang hanya 5 cerpen karya saya berhasil dipublikasikan. Namun, lebih dari itu, ada sebuah keberhasilan tertinggi yang saya capai bersama Anita Cemerlang, yakni TUMBUHNYA RASA PERCAYA DIRI mampu turut berkiprah di jagat prosa tanah air, meski saya lahir dan besar di sebuah desa kecil, bernama Kalipare, Kabupaten Malang.
Anita Cemerlang, saya bangga pernah menjadi bagian dari sejarah hidupmu yang melegenda!)



Di luar begitu dingin. Nyala lampu pijar di kanan kiri teras nggak mampu menghapus suasana kelam karena mendung di langit begitu pekat. Sulit diterka kapan hujan bakal turun ke bumi karena seringkali mendung cuma berarak sesaat lalu pergi.
Berdiri menggigil di ambang pintu depan Gilang bertanya-tanya. Ini malam ketujuh binatang kecil itu terbang rendah mengitari kamarnya dengan cericit keras memekakkan. Entah lewat jalan mana lagi ia masuk, padahal setelah dua malam berturut-turut kemunculannya, Gilang telah menyumpal setiap lubang yang ada. Aneh sekali ternyata ia tetap bisa masuk. Apa sih yang dicarinya?
Sekonyong sebuah tepukan hinggap di pundaknya. Gilang tersentak. Menoleh, sekulum senyum menyambutnya. Buru-buru ia buang kembali pandangan ke arah depan dengan dengusan nggak suka.

Rabu, 26 Agustus 2009

Sajak: Kamar Anakku



(semesta adi...)

Oleh Ayah

I
Nak, jendela kaca itu jangan kaututup rapat
beri sedikit celah bagi kesejukan
menarinari gemulai di atas kasur kapukmu
yang beku tak tersentuh
ubin dingin yang tak jemu menyangga tapakmu
teramat jujur untuk relakan jinjitmu
manakala kaurejam daun pintu penuh gerah
mereka cukup bersahabat nak
kenapa tak kausambut putih senyumnya
sementara ribuan pemimpi nikmati dengkur
bawah atap kardus tepi kali
berbaringlah nak
sapa ramah mimpimimpimu

II
Nak, bermakna apakah airmata
yang membanjir di bentang sajadah malam ini
harapan akan lahirnya mimpi yang kaugantang dengan penuh peluh
ataukah sekadar ritual
agar seolah terlihat utuh-penuh
kau serahkan diri ke haribaan sang maha segalanya
kau sendiri yang tahu, nak
berapa mahal harga butir airmata yang kauperas dengan segenap daya
kau sendiri yang tahu nak
sebab tapak yang terjejak kakimu
adalah milikmu
jika tak lahir kerinduan untuk terus memaknai airmata
kapan kau berharga

III
Nak, jika merah di matamu
adalah kesumba bagi putih hatimu
teteskanlah tanpa ragu
kau lelaki
butuh mengenal lebih banyak kisah hidup
untuk membuatmu perkasa
namun jika merah di matamu adalah bara
beranjaklah keluar
wajah pagi dengan sejuta embun
telah menunggu untuk memadamkannya
kamar dengan semburat gelapnya
bukan tempat bermata hati
yang mampu melihatmu dengan ikhlas
maka gegaslah buka pintu
sebelum ia benar-benar menguncimu
dan tak ada lagi celah untukmu lewat

Senin, 24 Agustus 2009

Sajak: Himne Kebersamaan


Oleh Ayah

( :sang pelita dalam kegelapan )

Tak akan lekang dalam ingatanku
buku-buku yang kaugenggam dengan cinta
adalah saksi mati kecintaanmu pada hidup
pagi hari, sementara embun masih malu-malu
telah kau lapangkan jalanmu
menyongsong matahari meniti waktu
sedang aku di pembaringan
masih berkelana dalam rimba keengganan

Kurasakan kini
bahkan sebelum kaki ini melangkah pergi
pedih kehilangan telah mencabik ulu hati
ribuan jam yang kaulintasi dengan cinta
mengguratkan kesadaran dalam batinku
panjang sekali langkah yang telah kauayun
demi aku


Serasa baru kemarin
kisah-kisah manis terangkai
dalam kesejukan udara pagi
serasa baru kemarin
tangis-tangis kecil yang tercipta
mengisyaratkan
bahwa cinta itu memang ada

Hari ini
ketika waktu bergerak menjauh
terasa ada yang tertinggal
dan tak akan tergantikan

Rindu esok hari mungkin bisa kutitip
sentuhan jemari dan tulus petuahmu
bisa pula kurasa dan kudengar

Tapi sesal ini
dengan apa bisa kuretas?
ribuan jam kemarin
tak semua kutiti dengan cinta
agar kebersamaan kita berharga

Tak akan bisa kulupakan
ketulusan yang kautawarkan
kerap kuabaikan tanpa perasaan
bahkan kecewa yang terlukis di wajahmu
tak berarti apa-apa bagiku

Maafkan aku

Di rumah mungkin aku remuk tak berbentuk
tapi mestinya tak di sini
di depan keikhlasan yang kaupancangkan dengan peluh
mestinya kupahami engkau setulus-tulusnya
dari lubuk terdalam hatiku

Hari ini fajar telah membuka mataku
aku datang
ingin meraih tanganmu dan mencium sepuasnya
jika itu mampu menghapus segala dosa masa lalu

Di sini
di gerbang ini
aku ingin melihat senyum tulusmu
melepasku penuh kasih
aku ingin mendengar doamu
agar harapan menjadi insan berharga
menemukan cahaya paling terang

Percayalah,
aku bangga pernah mengenalmu
aku bangga
kau pernah menjadi bagian penting
hari-hariku…

Hari ini, esok, dan selamanya
aku sayang padamu

Kalipare, 2 Juli 2007

Sajak: Makan Malam


(lahap, Di...)

Oleh Ayah

Denting piring ditatah sendok
mungkin terasa giris jika mata
yang kaulabuhkan pada nampan nasi dan lauk
tak menyiratkan geriap ingin yang menggelora
lapar adalah irama yang membuat orkestra santapmu
mengalun lembut gerus kalbu
lihat sosok tua tertegun di sisimu
wajahnya sarat cinta
ia adalah saksi hidup sebuah pembebasan tanpa syarat
kau adalah bagian termanis dalam sejarah geliat api
mencandai asap kala bibir tuanya meniupniup bara
demi binar matamu

kau adalah rahasia paling abadi
dalam tiap detik sukmanya
berdenyut
kau adalah kesuma ilalang dipetik dari pematang licin
lalu ditegakkan dalam gelas penuh air
agar ritual makan malammu bak savana dipenuhi hawa teduh
kau, nak
hanya kau yang bisa menyadarkan malam
bahwasanya liur yang setia menitik itu semestinya abadi
dalam kesetiaan pada hidup

Tentang Luka


Oleh Ayah

Maafkan Ayah. Telah Ayah putuskan untuk melanjutkan hidup, tanpa hirau akan sebaris kepedihan yang tertinggal dalam lelah bola matamu. Sejujurnya Ayah iba melihat sorot tua yang mulai berpendaran tanpa bisa kaucegah. Sementara langkah letihmu masih juga terayun menyusuri jalan terjal berbatu, dengan hati tak putus memendam harap, masih akan kautemukan kemilau hari-hari terindah dalam hidupmu, pada sebuah puncak tertinggi dan hanya kau yang akan berdiri di sana.

Sungguh, tak seorangpun ingin kau terluka. Dan harusnya tak perlu ada luka, jika saja kau menyadari bahwa tak setiap harapan yang kita genggam akan berubah menjadi emas. Kerap ia hanya berwujud kepingan jelaga yang menyisakan legam pada setiap buku jemari. Tapi apalah arti semua teriakan yang mengingatkanmu agar tak terlalu kencang berlari, sebab kau telanjur mabuk impian. Hingga seperti inilah jadinya. Kau terluka. Luka yang kini membuat tatapanmu selalu buram. Pun setiapkali menatap Ayah. Sangat pedih dan Ayah bisa merasakannya. Entah dengan apa kau bisa menyembuhkannya. Mungkin akan terasa lebih pedih buatmu sebab kini Ayah telah bisa mengikisnya, dengan sebuah keyakinan bahwa Ayah memang tak perlu menjadi bagian dari luka yang kauciptakan sendiri untuk hidupmu. Ayah bukan siapa-siapa bagimu. Dan memang beginilah seharusnya.

Maafkan Ayah. Selama ini Ayah kerap melontarkan keinginan-keinginan, yang mungkin tak kausadari bahwa itu semua hanya Ayah siapkan untuk bisa lebih mengenalmu. Memastikan bahwa Ayah tak sekadar berprasangka tentang luka itu. Tentu saja, menjadi tak bermakna apa-apa bagi Ayah ketika kau membanting semua keinginan Ayah begitu saja. Ayah malah semakin yakin, sesuatu memang telah terjadi dalam hidupmu. Percayalah, Ayah turut prihatin. Tapi apa yang bisa Ayah lakukan untuk menolongmu? Sementara nyata sekali kau tak berniat menyembuhkan luka itu, bahkan seolah ingin menyempurnakannya. Jika ini pilihan terindah bagimu, bukankah sebaiknya Ayah tak perlu mencegahnya?

Maafkan, Ayah telah menemukan jalan. Langkah Ayah hanya akan bermuara pada satu titik bernama kenyamanan hidup. Dan jalur yang kita tempuh mungkin berbeda. Ayah tak butuh ketinggian untuk sebentuk kebahagiaan. Sebab di sini pun, di tempat landai Ayah telah mendapatkan semua yang ingin Ayah capai.

Maafkan Ayah. Tak hendak berkorban untukmu. Salah dan benar biarlah menemukan tempatnya sendiri. Sekali lagi, Ayah hanya akan melakukan sesuatu yang membuat Ayah nyaman. Dan tak ada yang perlu disesalkan jika pilihan Ayah ini tak membahagiakanmu.

Terima kasih telah kauhadapkan Ayah pada banyak situasi sekusut benang. Satu hal mungkin kau belum tahu. Selama ini tanpa Ayah sadari Ayah justru banyak belajar dari setiap kesulitan yang Ayah hadapi, termasuk dari luka-luka yang kauciptakan. Sekali lagi terima kasih telah kaubuat Ayah semakin tegar dengan itu semua. Semoga kau pun segera menemukan apa yang kaucari. Jika mungkin, tanpa meninggalkan luka lagi bagi siapapun. Namun jika tidak, maafkan Ayah. Ayah hanya bisa menghela napas panjang untukmu…

Wajah Melati

Oleh Ayah

Ah, masih sangat kuingat pesan pendek yang ia kirimkan pada suatu hari tatkala matahari nyaris rebah di pangkuan senja. Aku terhenyak sesaat lalu tersenyum manakala menyadari bahwa serenteng kalimat yang ditulisnya menyiratkan sebentuk perasaan yang tak lagi bisa ditanggung dan butuh tempat untuk menumpahkannya. Saya tidak krasan, Ayah. Hari-hari yang saya jalani benar-benar di luar bayangan saya. Sampai-sampai saya berpikir untuk mengakhirinya, pindah ke sekolah lain. Teman-teman baru saya jauh berbeda dari teman-teman yang saya akrabi tiga tahun sebelumnya. Sebagian malah sangat menyebalkan. Setiap kesempatan hanya mereka pakai untuk membicarakan hal-hal yang tidak berguna. Saat itulah saya tak bisa membendung keinginan untuk lari saja sejauh-jauhnya, bertemu teman-teman lama yang mungkin tengah bergembira di tempat baru mereka. Ingin menjerit rasanya, menangis sepuasnya. Saya kehilangan saat-saat indah dalam hidup saya dalam sekejap mata. La bertemu saat-saat menyebalkan yang entah kapan akan berakhir. Saya capek, Ayah. Saya mau pindah saja. Saya sudah tidak tahan lagi.

Kala itu Ayah memang sengaja tak banyak bicara, Mel. Hanya dua buah kalimat tanya untukmu. Apakah teman-teman barumu di SMP dulu tak ada yang menyebalkan pada awal kenal? Kau menggeleng. Apakah kau tak merasa kehilangan teman-teman SD ketika berpisah dulu? Sekali lagi, kau menggeleng. Kau tahu, kan. Mel arti tepukan tangan Ayah beberapa kali di bahumu setelah itu, sebelum Ayah melanjutkan langkah ke kelas?

Waktu terus bergulir. Hampir dua bulan berlalu. Kelas baru telah berjalan sebagaimana mestinya. Dua hari lalu sekali lagi aku tersenyum. Tentu bukan sesuatu yang ajaib bila akhirnya aku menemukannya tak lagi resah. Melati telah bisa tersenyum. Secepat itukah ia melupakan segala rasa yang ditumpahkannya belasan hari yang lalu? Ya apa mau dikata, memang itulah fakta yang terlihat saat ini. Dua pekan lalu ia masih melangkah gamang di halaman sekolah, dengan atribut MOS digenggamnya tanpa semangat. Langkah-langkahnya terayun sangat berat. Tapi saat ini semua telah berubah. Sorot matanya seolah mengabarkan bahwa semua baik-baik saja akhirnya. Keresahan yang terlukis lewat kalimat sms-nya dulu, kini tak ada lagi. Tentu saja ada kelegaan melimpah ruah melihatnya telah mampu mengatasi persoalannya sendiri. Keadaan itu makin meneguhkan keyakinan dalam diriku, sesungguhnya ia memahami bagaimana melangkah di jalan yang tak sama rata dengan puluhan kilometer yang ditapakinya kemarin.

Makin lapang hatiku saat mendengar ia bertutur tentang keikhlasan hatinya menerima kenyataan bahwa teman-teman dekatnya selama ini kini telah menempuh jalan masing-masing, terpisah ratusan kilometer jauhnya, mengejar segala yang diimpikan sekian lama. Mawar, teman sebangku yang hangat telah pergi, dan bangku kosong di sampingnya kini diisi sosok lain yang memiliki keistimewaan berbeda dan sanggup mengisi pundi-pundi batinnya menjadi lebih kaya. Anggrek, yang selalu lucu kini telah digantikan oleh sosok yang jahil tapi menggemaskan. Belum lagi pengganti Matahari dan Bintang yang tak kalah setia berbagi cahaya keriangan masa remaja. Dunia yang dulu menghampa karena perpisahan, kini berubah menjadi lebih berwarna.

Sebuah kalimat yang akan selalu kukenang, Melati. Kauucapkan dengan sorot mata berbinar. Saya tak jadi pindah, Ayah. Tak ada kata kuucapkan, namun kelegaan yang memenuhi rongga dadaku sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan betapa bangganya aku melihat kedewasaannya menemukan tempat yang tepat untuk tumbuh. Aku bilang tepat, sebab kita memang tak akan pernah tahu tempat mana yang tepat untuk medium tanam benih kedewasaan kita, sebelum kita benar-benar menjejaknya dan mencoba mengakar dengan segenap daya.

Teruslah berjuang, Melati. Perasaan cinta, dan kehilangan, akan selalu datang dan pergi. Begitu pun kebersamaan. Teruskan mencecah tanah. Semoga akar yang kaujulurkan pada setiap detik waktumu benar-benar bisa mencengkeram bumi agar pijakanmu bisa makin kokoh.

Kemarahan Akbar


Oleh Ayah

Akbar, dengan apa kauyakinkan semua orang bahwa kau tak lagi serapuh kemarin? Dengan apa kau yakinkan semua orang bahwa cahayamu tak redup hanya karena di sekelilingmu bertebaran cahaya-cahaya lain yang menyilaukan? Dengan apa kau yakinkan semua orang bahwa harga dirimu sebagai lelaki telah kaubela dengan cara yang tepat, dan meletakkannya di tempat yang layak, tanpa meninggalkan luka bagi siapapun? Dengan apa kau yakinkan semua orang bahwa kau sudah mulai sadar untuk menghormati hidup?

Sadarkah kau bahwa hidupmu, hidup Ayah sangatlah berharga? Tak seorangpun boleh merampasnya. Kalau sampai hari ini kau masih merasa hina, merasa rendah, ini sama artinya dengan membiarkan orang lain merenggut harga dirimu untuk dicampakkan di tempat paling rendah. Sehebat apakah dia sehingga kau merasa tak lebih berharga? Jangan biarkan orang lain seenaknya mengendalikan hidupmu, Tak ada artinya kau meratap-ratap, sementara sosok yang kaupuja tengah bersukaria, tanpa sedetikpun kau ada dalam pikirannya.

Kau mungkin tak banyak tahu kenapa Ayah begitu marah menyikapi persoalan yang tengah kauhadapi. Sepertinya kau menganggap obrolan panjang kita sedikitpun tak ada artinya bagimu. Kau masih saja mencari pembenaran atas sikap-sikapmu, seolah ingin membuktikan bahwa semua langkah yang kauambil adalah yang paling benar, benar di atas pendapat orang lain. Lalu buat apa kau bertanya pada Ayah? Kalau kau yakin dirimu benar, ya sudahlah, lakukan, dan jangan sekali-kali minta pendapat orang lain. Sedikitpun tak terdengar ucapan yang menjelaskan kau ingin menguji apakah pendapatmu mungkin salah. Jadi, terserah, sekarang kau mau menyalahkan siapa lantaran kau terlahir bukan sebagai manusia yang bergelimang kemewahan.

Minggu, 09 Agustus 2009

Cerpen Misteri: Istana di Atas Air

Cerpen: Ayah

Jantung Mimin berdetak kencang. Hujan makin deras. Air mulai menggenangi dasar perahu. Ia sudah letih mendayung, lelah berteriak minta tolong, tapi perahu bukan menepi, malah ke tengah. Sulit menerka ia berada di bagian mana sekarang. Pandangannya terhalang tirai hujan yang sangat rapat. Malam makin pekat. Mimin pasrah. Sejengkal lagi air hujan mencapai bibir perahu.

Andai tadi aku bisa menahan diri, sesal hatinya. Mimin lari cuma karena persoalan sepele, berebut acara televisi dengan Santi, adiknya. Ayah yang capek seharian menjala ikan merasa terganggu. Sebagai saudara tua Mimin mestinya mau mengalah. Mimin protes kenapa mesti saudara tua terus yang mengalah? Ini nggak adil. Protes Mimin berujung pada bentakan ayah. Mimin lari ke sungai, mengayuh perahu ke tengah sungai.


Air telah mencapai bibir perahu. Mimin tak punya pilihan lain. Daripada mati konyol, lebih baik nekad. Mimin melompat, namun diguyur hujan sekian lama membuat sendi-sendi tubuhnya terkunci. Dalam situasi seperti ini pelajaran berenang dari ayah tak berguna lagi. Apakah ajal telah menjemputku? batinnya sesak. Pada saat kritis, tiba-tiba muncul seberkas cahaya keemasan yang sangat terang. Cahaya yang memancar dari sebuah bangunan megah yang berdiri kokoh di atas air. Mimin sempat melihatnya beberapa detik saja, setelah itu…
***