Minggu, 31 Januari 2010

Suara Kecil Seorang Ayah



Anakku...
ayah kangen nak
tapi ayah hanya mampu melihatmu dari sini
sebuah tempat yang sangat jauh
ayah tak bisa menyentuh apalagi memelukmu
sebagaimana selalu kaunikmati waktu kecil

Ayah tak bisa menyeka airmatamu saat kau lara
ayah tak mampu menjawab dengan kata yang bisa kaudengar
saat bertanya di mana ayah
ini sangat menyakitkan nak

Kesendirianmu,
kesunyian yang senantiasa menghadirkan ngilu hatimu
kecemburuan yang selalu tak mampu kauusik
manakala matamu menangkap kemesraan di sana
itu semua pahit nak
ayah tak bisa berbuat apa-apa di sini

Maafkan ayah hanya berharap
engkau bisa belajar mencerna rasa kehilangan
tanpa mengeluh
ayah hanya bisa berdoa
semoga kepahitan membuatmu teguh dalam badai

Sebuah harapan terang
semoga bisa membantumu menemukan jalan lapang
agar sedikit waktu yang kaujalani
bisa menawarkan keindahan
dan kau tak kehilangan sebutirpun
impian yang kautata untuk masa depan

Percayalah anakku
kau memang tak memiliki aku seutuhnya
namun kau sama seperti mereka
kau berhak menikmati semua tanpa kegetiran

Ayah mencintaimu nak, sangat mencintaimu



Sketsa Bianglala



Selembar bianglala
meremuk tak tereja bentuk
di lengkung retak
cakrawala

Lihat!
alangkah giris senyum gerimis
telah lelah ia berucap
kepada berlaksa pasang mata
yang setia menyimak
gugus fenomena alam itu

Apa yang bisa kuperlihatkan lagi
sekarang
kalau tak lagi bisa dibedakan
mana pelangi mana mendung

Apakah sejarah panjang semesta
mesti usai di sini
sedang sesungguhnya
ia masih mampu mencipta
kelakkelok jalan berwarna

Ataukah sudahi saja tengadah
lalu diam menatap hujan
di depan
dengan pandang jauh dari takjub
sebab di balik tirai hujan sana
hanya tampak
fatamorgana tua renta

Jika dan Hanya Jika



Jika atas nama cinta
kauberi aku nestapa
maka biarkan curah angin
memburumu untuk menghapus
segala daki

Jika atas nama cinta
kautebar rasa gundah
di tiap celah pori tubuhku
maka biarkan pelangi
yang berkibar
antara pokok kaktus
melebur warna sekelabu jelaga

Jika atas nama cinta
kaubungkus selaksa tanya
dalam beku kabut
maka biarkan aku mengucap
sekalimat penghabisan
"kuantar kau
pada setapak jalan
lalu terbanglah
ke nirwana
bersama
cintamu sendiri"



Sabtu, 30 Januari 2010

BBB: Bank Brankas Bantal



Video spy cam. ATM skimmer. Cyber crime. Walah! Canggih benar! Atau, sebenarnya biasa-biasa saja. Otak saya saja yang ketinggalan kereta. Ya, bolehlah dituduh demikian. Karena memang istilah-istilah tersebut sangat asing di pendengaran dan penglihatan saya. Baru saya ketahui setelah media massa ‘menaikdaunkan’nya terkait kasus fenomenal, pembobolan ATM.

Biarlah Ruby Alamsyah saja yang bicara tentang ‘makhluk-makhluk canggih’ di atas. Beliau adalah pakar forensik digital. Bagaimana PIN bisa terekam?

Menurut Ruby, perekaman PIN dilakukan dengan cara konvensional, yaitu memasang video spy cam (kamera pengintai). Alat itu mengarah ke keypad ATM sehingga ketika nasabah mengetik PIN akan terekam. Kamera pengintai itu diletakkan pada jam-jam ketika ATM dalam kondisi sepi. Sebenarnya, pengguna ATM bisa dengan mudah mengenali kamera pengintai itu. Kamera pengintai milik bank biasanya focus ke wajah, sedang kamera pengintai palsu mengarah ke keypad!

Selain kamera pengintai, penjahat juga memasang alat yang disebut ATM skimmer. Bentuk ATM skimmer sama seperti ATM asli. ATM skimmer itu tertempel di mulut ATM asli. Saat nasabah memasukkan kartu ATM, skimmer akan merekam semua data di kartu ATM. Data tersebut terekam di kartu memori skimmer. Data yang sudah didapat ATM skimmer kemudian digunakan untuk menggandakan ATM. Dengan kartu ATM palsu dan PIN yang sudah dimiliki, penjahat kemudian memanfaatkan untuk bertransaksi di ATM. Karena seolah-olah legal, pihak perbankan biasanya menganggap transaksi tersebut sah.

Untuk menghindari pembobolan via ATM, nasabah harus mengetahui mana tipe ATM skimmer yang asli dan mana yang palsu. Skimmer ATM sdli biasanya kokoh. Tidak bergerak-gerak. Waspadai juga jika di mesin ATM atau alat penggesek kartu kredit/debit ada tempelan tambahan yang bukan berasal dari bank, misalnya nomor pengaduan palsu. Biasanya kalau bukan asli dari bank, ada bekas-bekas perekat, seperti lem, isolasi, atau double tape. (disarikan dari Tabloid Nyata edisi IV Januari 2010).

Saya tak tahu, apakah dengan tidak punya rekening di bank merupakan sebuah keuntungan atau tidak. Intinya, bahwa saya sedang tidak punya uang besar, jelas iya. Tapi kalau kelak Tuhan memberi saya rejeki lebih, masa sih harus saya pakai cara jadul lagi, menyembunyikan uang di bawah bantal? Siapa tahu para penjahat sudah lupa dengan cara usang itu lantaran ingin ikut bercanggih-canggih dan tak mau dianggap penjahat ketinggalan zaman, dengan melakukan cyber crime. Mungkin nggak sih? Hahaha… Anggap sajalah ini pikiran orang yang lagi judeg alias sebel alias geregetan. Bagaimana mau tidak repot ya. Beli brankas pun bisa saja digotong beramai-ramai. Alarm yang tulit-tulit mah kecil banget melumpuhkannya. Jangan-jangan sang penjahat malah mematikan bunyinya sambil bersiul-siul, seolah berkata, “Ah, lebih merdu siulanku!” Nah lho!

Sekarang, terserah saja. Mau pilih yang mana. Nabung di bank, monggo. Beli brankas bergembok raksasa, silakan. Atau, mau yang jadul, menyimpan di bawah bantal, boleh juga.

Mungkin yang penting adalah memantapkan hati, meneguhkan iman, bahwa segala yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan. Kalau tiba-tiba raib, lewat cara apa pun, barangkali memang sudah saatnya diambil. Masa sih tidak diikhlaskan, wong yang mengambil yang punya, hayo! Buktinya ketika masih diamanatkan kepada kita, aman-aman saja walaupun tergeletak di lantai, atau bahkan sudah jatuh berhari-hari di jalan masih bisa ditemukan. Setuju, atau tak setuju, monggo mawon…

Eeehmm…, sebentar. Uang di bawah bantal saya masih ada berapa ya?

Tamparan Tavi Gevinson



Nduk…

Saya tersenyum sendiri membaca kejengkelanmu di sebuah tabloid. “Menjengkelkan sekali,” cetusmu. “Orang-orang mengeluh, menyebut generasi saya bodoh. Tapi begitu saya menunjukkan kalau saya punya otak, mereka bilang saya palsu!” Saya tersenyum karena beberapa alasan. Kata-kata itu tak akan terasa menggelitik kalau yang melontarkannya adalah orang dewasa. Tapi itu semua dari bibirmu, bocah 13 tahun! Sementara di banyak belahan bumi ini, sebagian besar bocah seusiamu tengah bermanja-manja di ketiak ibu-bapaknya, bicara tentang rupa-rupa permintaan demi kesenangan sesaat, sebagian lainnya mungkin tengah tak acuh dengan tugas-tugas sekolahnya, tak peduli akan naik kelas atau tidak pada akhir tahun pelajaran, dan banyak lagi tingkah polah khas para bocah yang kerap bikin geleng-geleng kepala orang-orang yang menyayanginya.

Kau beda, Nduk. Kau memang tak tinggal di kawasan yang gemerlap, melainkan di kawasan sepi di barat Chicago. Namun kau tahu bagaimana membunuh sepi tanpa harus menghadirkan sederet kerasahan. Sebagai bungsu dari tiga bersaudara, putri seorang guru Bahasa Inggris di sebuah SMA, kau tidak terjebak jadi anak manja. Penampilanmu yang biasa, tubuh agak ceking, tinggi 136 cm, berkaca mata, bisa kausulap sedemikian rupa menjadi fashionable. Tentu saja bukan karena kau ingin terlihat nyleneh. Semua kaulakukan lantaran kau memang punya talenta yang tak dimiliki sebagian besar sebayamu. Itu Nduk yang membuat saya tercengang.

Saya tergerak untuk ngeblog baru kemarin sore Padahal, kau sudah berekspresi di dunia maya itu pada usia 11 tahun! Nah, saya ketinggalan zaman banget, kan? Sekarang dunia fashion kaubuat tercengang. Blogmu, Style Rookie, yang baru kauluncurkan pada Maret 2008 telah mencatat prestasi yang luar biasa. Saat ini, kaulah blogger fashion yang paling menarik di dunia. Dan juga paling kontroversial. Ngeblog bagimu jadi semacam proyek rahasia. Siang sekolah, malam ngeblog di kamar tidur, dan orangtuamu tak tahu aktivitasmu itu. Kau memotret bagian majalah-majalah fashion dan mengomentarinya dengan gaya ceplas-ceplos, kadang pedas. Meski begitu, gaya bahasamu terkesan professional dan matang. Kau juga rajin meng-upload foto-foto dirimu yang mengenakan busana kreasimu sendiri, benar-benar memanfaatkan kreativitas dalam memadu-padan.

Kebosanan terhadap aturan-aturan baku di sekolahmulah pemicunya. Aturan ketat dalam berpakaian. Tidak boleh menulis sesuka hati. Nah, dengan blog itu, kaurasakan pikiranmu seperti menulis begitu saja di komputer. Sebuah pelarian yang positif, bukan memilih kabur dari sekolah untuk kelayapan di tempat-tempat dugem, atau memaksakan diri mengenakan aksesoris-aksesoris ajaib ke sekolah yang berujung pada teguran pihak sekolah. Pelarian yang sama sekali tak menuai risiko buruk, sebaliknya malah membuatmu melejit menjadi anak kesayangan dunia fashion. Dalam tempo beberapa bulan. Kau berhasil menarik perhatian publik. Proyek rahasia itu puntak bisa lagi kausembunyikan dari orangtuamu. Mereka tau kau ngeblog setelah menerima permintaan wawancara dari The New York Times. Tidak terlukiskan kekagetan kedua orangtuamu. Akhirnya, mereka pun mendukungmu sepenuhnya. Pengunjung Style Rookie meningkat, dari sekitar 2 ribu menjadi 29 ribu per hari. Desainer-desainer dan editor majalah ternama pun mendekatimu.

Wis to, Nduk. Jangan lagi kaugelisahkan ucapan miring sebagian orang dewasa. Anggap saja mereka cemburu lantaran harga dirinya sebagai orang dewasa terlindas kecemerlanganmu. Kau jawab saja dengan terus berekspresi ya! Lama-lama mereka akan percaya. Lebih baik lagi jika nanti mereka, lantaran terinspirasi olehmu, lantas berjuang untuk berkarya, bukan ngedumel saja sebagai tameng penutup gengsi dikalahkan bocah 13 tahun. Baguslah kau berpikir, anjing menggonggong kafilah berlalu. Kau tetap kukuh dengan hobi fashion dan ngeblog. Biarpun dianggap “cuma anak kecil”, kau tetap berusaha mempertahankan profesionalitas. Wow, profesionalitas! Anak kelas 2 SMP gitu loh! Satu lagi tamparan buat orang dewasa!

Selanjutnya, Nduk, nikmati saja bagiamana semua orang melihat ‘anak muda dan berbahaya’ sepertimu! Kalau sempat kunjungi blog Kediaman Ayah dong, huahahaha….!



Jumat, 29 Januari 2010

Pencabut Rumput




Belum lama kering tungkainya menjejak
rekah menganga
bumi
kemarau

Menjerit lepas
serabut akar terimpit cadas

Tertegun
ia
matanya berkaca
sepuluh jari menggapai
takjub
kelopak dedaun nyaris merapuh dalam genggaman

"jika bisa engkau kembali hijau,"
gemetar bibirnya menyeru,
"mau aku menangis
sampai meleleh dahagamu
agar bisa kutata bait-bait tarian lembutmu
menebarkan wangi savana."


mengembang lalu senyum putihnya
kalau masih
ada yang kauminta
ini
aku hanya punya jiwa
maka ikhlaskanlah aku
mencabutmu untuk kutanam
di sini
taman kecil di mana mataair terus digali


Pelajaran Bang Iwan



Bang Iwan…
Maaf kalau saya sok akrab. Kita tak pernah saling kenal. Abang di sana, jauh. Saya di sini, di sebuah dusun terpencil yang dikelilingi bukit-bukit kapur. Namun seperti penikmat musik lainnya, saya sangat mengenal Abang lewat karya-karya Abang yang dahsyat itu.

Saat mengayuh sepeda ke tempat kerja, di benak saya selalu tergambar Abang tengah melantunkan lagu Oemar Bakri, Ah, sebenarnya saya malu mengutarakan hal ini. Saya adalah saya. Bukan sosok Oemar Bakri dalam lirik ciptaan Abang. Saya tak memiliki tas hitam dari kulit buaya. Dan yang pasti, saya bukan pegawai negeri, melainkan hanya pegawai “luar negeri” dengan gaji yang, alhamdulillah, selalu menyadarkan saya bahwa Tuhan Maha Kaya dan saya tak pernah meragukan kasih sayangnya kepada saya. Memang, kalau mau berhitung secara matematis saya pasti sudah mati kelaparan sejak dulu. Tapi nyatanya sampai detik saya masih bisa makan kenyang dan segar bugar. Benar kan, bahwa saya tak punya alasan untuk meragukan keadilan Tuhan? Oemar Bakri adalah energi yang tak pernah habis menyulut semangat saya, Bang. Terima kasih!

Bang Iwan lahir dengan nama Virgiawan Listanto, di Jakarta, 3 September 1961. Anak kelima dari sembilan bersaudara. Suka baca buku silat dan gemar melahap pisang Ambon. Abang menikah pada usia 19 tahun dengan Rosanna. Abang memang telah menancapkan karakter yang kuat sejak album pertama. Ratusan karya terus mengalir, solo maupun bersama grup. “Musik sudah jadi jalan hidupku,” kata Abang.

Banyak hal yang pernah Abang lontarkan di media massa hingga saat ini masih saya ingat dengan baik, karena saya selalu merekam kalimat-kalimat penting yang lahir dari kejujuran Abang. Di antaranya adalah pernyataan yang sangat menggelitik saat sebuah tanya tentang kemungkinan go international dilontarkan, Abang menjawab, “Ada!” Tapi untuk mengemis, nanti dulu. Artinya, bahwa Abang harus belajar bahasa Inggris, bahwa Abang harus memainkan ini-itu, Abang tak mau. Kenapa? India tak perlu pakai bahasa Inggris. Cina tak perlu pakai bahasa Inggris. Lagu-lagu Afrika bisa mendunia, walaupun terbatas. Wah, asyik banget, Bang. Benar juga ucapan Abang. Tak harus menjadi bule untuk bisa diterima bule, walaupun sebenarnya sah-sah saja. Namun pendirian Abang untuk tetap menjadi diri sendiri sungguh menyengat kesadaran saya.

Abang cuma ingin bahasa Abang didengar, karena bahasa itu yang bisa Abang hayati. Tanpa penghayatan, ya omong kosong. Abang bekerja saja. Kalau memang fibrasinya sampai ke luar, ke luarlah. Abang punya keyakinan itu. Dari dulu sampai sekarang tetap di sini tempat Abang. Mudah-mudahan bisa tembus ke luar negeri tanpa berubah posisi. Kalau Abang berubah, Abang takut tercabut dari akarnya. Karena informasi terbanyak Abang dapatkan di sini. Abang akan berusaha tetap di sini. Toh kita punya satelit, yang dapat menjangkau ke mana-mana.

Dunia tarik suara sudah Abang geluti sejak kecil. Lagu-lagu Koes Plus dan Panbers kerap Abang nyanyikan kala itu. Akibat ngamen sejak di bangku SMP, membuat sekolah Abang berpindah-pindah. Tamat SD di Jakarta, masuk SMP di Bandung. Kemudian balik lagi ke Jakarta. Sempat mencicipi SMA di Yogyakarta, sebelum menyelesaikannya di ibukota pada 1979. Karena orangtua Abang, pasangan Haryoso dan Lies, mengharapkan Abang jadi sarjana, Abang memilih kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik, sembari terus ngamen. Album pertama, Oemar Bakri, 1981, membuat Abang popular. Dunia ngamen pun Abang tinggalkan. Popularitas dan kesibukan show membuat kuliah Abang terbengkalai.

Getir, Bang. Ironi yang paling getir memaksa saya terjerembab pada kubangan rasa malu. Kuliah saya, Bang. Remuk justru bukan karena popularitas dan kesibukan seperti yang Abang alami. Akan tetapi semata-mata karena sebuah kecerobohan, bahkan kebodohan dalam mencerna arti sebuah kesempatan emas. Walau sekian tahun kemudian saya bisa menebus kesalahan itu, namun tetap saja rasa bersalah tak pernah bisa dihapus dari ruang kesadaran saya.

Ya, sudahlah. Tanpa bermaksud membanggakan kesalahan, saya, walau getir, berusaha menerima itu semua sebagai pelajaran berharga. Pelajaran yang selalu saya sampaikan di hadapan anak-anak saya, para siswa, setiap saat saya mengingatnya. Bahwa kebodohan tersebut tak perlu terulang lagi pada siapapun.

Terima kasih, Bang Iwan. Abang adalah legenda sepanjang masa!

Senin, 25 Januari 2010

Elegi Mimpi

( Catatan buat AZ. Kau hebat, Jack! )


Sahabatku...

Aku tahu, mimpi-mimpi yang pernah kauhitung di hadapanku, kini tercabik mengenaskan. Dan kau tenggelam dalam tanya besar, dengan apa harus menisiknya, agar lubang-lubang yang menganga itu terekatkan meski tak akan bisa sesempurna sebelumnya.

Aku juga tahu, kepedihan itu kini milikmu, dan tak akan pernah bisa kaubagi, bahkan kepadaku. Kalau hanya kata-kata, aku pasti telah lama menyatakannya bahwa aku juga merasakan kepedihan itu. Hanya merasa, tanpa bisa ikut memilikinya sebab garis hidup kita berbeda, dan Tuhan mempercayakannya kepadamu.

Kalimat-kalimat puisimu, sahabatku. Benar-benar menyuratkan semuanya...

Mencoba tuk bertahan
meski menyakitkan
mencoba tersenyum
meski dada terasa sesak
mencoba tuk berlari
meski kaki tertancap duri

Itulah yang dialami sang durhaka
ia tetap bersikeras memainkan bass
meski tangan tak lagi bertenaga

Ah, siapalah aku
hanya manusia yang tak mau kalah
meski kaki terpasung
siapalah aku
hanya manusia yang ingin punya legenda
buat buah hatinya kelak
meski itu masih tersirat dalam angan
aku yakin ia pasti bangga
jika ayahnya di masa lalu
adalah orang yang hebat


Kau luar biasa, sahabatku...
Dengan mimpi yang nyaris lumat itu, kau masih sanggup melangkah, walau tak kau tahu akan sampai pada langkah keberapa kau sanggup bertahan. Tentu saja aku berharap mimpi-mimpi itu bisa kautisik dengan baik agar kau tak perlu lagi ragu bahwa kesempatan untuk mempersembahkannya bagi buah hatimu bisa terwujud kelak.

Maafkan jika pada setiap kata yang terangkai dalam percakapan kita selalu ada kepingan luka yang kadang mencair tak terbendung. Kau masih sangat muda. Itu yang membuatku seolah tak rela. Jika mungkin, pasti aku akan memilih bertukar mimpi denganmu, sebab di usia merambat senja aku masih tak meraih sesuatu yang berarti. Kenyataan hidupmu benar-benar menamparku dan menyisakan merah rasa malu. Dengan mimpi-mimpimu yang lebur dalam usiaku kau pasti bisa mengukir sejarah kebanggaan yang bisa jadi melegenda, persembahan terindah untuk buah hatimu.

Memang tak guna tenggelam dalam andai-andai tak berbatas. Kita memang harus menyudahinya, dan segera kembali pada kenyataan.

Aku pasti setuju dengan ketetapan hatimu untuk tak mengingat kepedihan itu. Kita tak pernah mampu membilang waktu. Jadi, jalani saja, mengalir saja. Janjimu untuk bertemu dan menciptakan karya bersama masih akan kutagih. Jangan surut ya!

Di mana pun kau saat ini. Apakah tengah berbaring menahan pedih. Ataukah tengah berjuang mengalahkan rasa nyeri di lain tempat. Aku percaya bahwa kau masih akan penuh tawa. Masih mampu menakar kemampuan menghitung tenaga, sehingga meski kepedihan kadang menyulutkan putus asa, kau pasti tak akan pernah membabi buta.

Mimpi-mimpimu, sahabatku...
Aku yakin akan terwujud dan memberi arti dalam kisah hidup yang nyaris tak kupercaya bisa serupa film-film pemerah airmata. Namun, pasti, bukan airmata yang akan kita perah saat ini, melainkan kebanggaan bisa mengatasi semua kendala dalam tawa...

Dari Palung Hati

(sajak biru untuk anakku)

I

Kau nak
datang kuncupkan bibir
manja

Berpuluh tahun merindu
kala gugusan sunyi
memampat
sita seluruh ruang
sadarku

Kau juga nak
datang bawa sapa
sederhana
kala harihari bisu
kehabisan nada
dan menyekapku
sesak

Makan yah
bobo yah
istirahat yah
bergulir
bening yang lama membatu
di batas ragu
akan merdu kidung mungil
lirih merdu

Impian itu nak, ah
sepanjang masa
meluka
hingga kau tiba

Nak
kau
hanya kau
cahaya



II

Nak
mata ini
mungkin terlalu tua
untuk menebarkan cahaya
kasih
yang berpendarpendar
di dalamnya
sehingga dari puncak bukit batu
tempatmu berdiri kini
takkan bisa kaulihat geliatnya

Tapi aku percaya
angin pagi yang selalu
sejuk berembus
setia selalu kabarkan
padamu
geliat itu takkan henti
terus
dan terus
abadi

Minggu, 24 Januari 2010

Entah Ini Apa


Entah ini apa
iseng saja kususun
baris dan bait
semoga bisa bernama sajak
namun andai bukan
ya terserah
tak perlu disanggah
pasti aku tak mampu
berucap apa-apa


Entah ini apa
kucipta
secuil perlawanan
terhadap kebuntuan
oleh sebab tak jelas

Ya, entah ini apa
biangnya pun tak kutahu
harapan membuka tahun baru
dengan semangat baru
baru kusadari kemudian
menjadi hal baru
sebab baru kini kurasa
yang demikian adanya

Buntu
buntu
buntu

Ah, tak boleh kelamaan
ini hari
aku mulai mendobrakmu!

Sabtu, 16 Januari 2010

Kenangan Hujan


Ingat hujan, aku selalu terlempar ke masa silam kala bocah. Bermain hujan mengitari kampung. Tengadah dan meneguk kesegaran airnya. Tak takut petir walau kerap orangtua berteriak penuh kecemasan melihat kilat menyambar-nyambar. Saling memercikkan ke tubuh teman ketika menemukan kubangan berwarna kecoklatan, lalu tertawa-tawa girang, apalagi saat percikan tepat mengenai sasarn yang dibidik, wajah, misalnya, dan membuat sang korban gelagapan, wah luar biasa senangnya. Selalu aku menantikan hujan dan berharap akan datang lebih cepat agar tak tertinggal momen-momen indah itu.


Tapi itu dulu... saat aku bocah.

Sekarang. Tak kutemukan lagi keasyikan kanak-kanak itu di kampungku. Hujan sepertinya bukan sesuatu yang dinantikan, bahkan cenderung dihindari. Tak ada lagi kecipak langkah-langkah mungil membelah genangan air kecoklatan. Zaman memang berubah. Sering aku mendengar banyak ibu meneriakkan kata "pilek" di belakang kalimat bermakna hujan. Dan entah penyakit apa lagi yang berderet-deret diteriakkan dengan kegemasan. Tak jarang jeweran atau cubitan mampir ketika sang bocah nekad mencuri waktu untuk sejenak menyapa hujan dalam ketelanjangan. Namun, entah kenapa aku tetap saja merasa sangat kehilangan. Tak ada lagi kebandelan bocah menantang jilatan petir. Tak ada lagi perahu-perahu kertas diadu di sepanjang selokan berair deras. Tak ada lagi canda tawa bersahutan membelah riuh suara hujan. Tak ada lagi... Tak ada lagi...

Ah, masa kecil. Beruntung aku pernah menikmati keindahan itu. Meski dalam benak bocah-bocah masa kini tak ada lagi kisah itu, tak apalah. Sekali lagi, zaman memang telah berubah...