Oleh Ayah!
Menyebalkan! Setengah jam memelototi layar komputer, di warnet pula, tak sepotong karya bermakna, lahir dari otakku yang sedang bebal. Maka kuputuskan untuk menulis ini saja. Terserah ada yang mau baca atau tidak. Seharian aku terbaring tak berdaya di tempat tidur. Terpaksa bolos kerja, hal yang tak biasa aku lakukan. Benar-benar sebuah keterpaksaan yang melahirkan dosa. Aku merasa bersalah, tapi apa mau dikata, badan serasa luluh-lantak. Radang tenggorokan, penyakit yang entah kenapa demikian mencintaiku sehingga tak sedetikpun mau enyah dari hidupku. Beberapa hari jadi bahan tertawaan lantaran suaraku timbul tenggelam serupa lolongan anjing di tengah hujan lebat berangin kencang. Belum cukup ternyata. Pagi tadi lambung ikut melilit-lilit, maag akut sekongkolan untuk ngerjain aku. Kompak banget! Terima kasih. Teruskanlah, biar sempurna penderitaanku. Eh, belum tuntas rasa sebal, kejahilan berikutnya datang. Giliran migren jejingkrakan di kepalaku, tepat ketika bedug Asar ditabuh. Ya, memang salahku sendiri tadi pakai nantang-nantang segala. Borong gratis tuh penyakit!
Itu sih kalau harus bicara dengan emosi meledak-ledak. Sekenanya! Dan tak menghasilkan apa-apa selain sakit yang makin berdenyut di kepala, dan nyeri yang kian melilit perut.
Namun ketika kekesalan mereda, dan pikiran kembali jernih. Aku harus mengakui satu hal: Tuhan tampaknya sedang sayang padaku. Diberinya aku hadiah penyakit agar aku bisa istirahat sejenak dari rutinitas yang sangat padat mencekik leher. Dengan hanya berbaring di tempat tidur, aku bisa merasakan betapa nikmatnya melemaskan otot-otot yang kaku di sekujur tubuh. Sambil berbaring (tapi jangan dicontoh, baca sambil tiduran, kata para pakar kesehatan mata itu berbahaya!) aku bisa menyentuh lagi buku-buku fiksi yang sekian lama kuabaikan lantaran tak tersisa waktu yang cukup untuk memesrainya. Walau tak bisa kupungkiri, kadang pikiran masih meloncat-loncat ke tempat kerja. Setidaknya dengan lebih banyak waktu untuk relaksasi, pikiran bisa istirahat, tidak dihajar melulu dengan segudang program ini-itu yang formal dan menyesakkan. Perkara ada yang harus terbengkalai, ya sudah, sementara biarkan dulu. Besok saja kalau sudah sehat, bisa digas lagi, dengan kecepatan terukur, sebab kalau ngegasnya kebablasan sama juga bo'ong, jangan-jangan efek sampingnya lebih mengerikan. Waduh, amit-amit!
Makan, apa saja, tak ada enaknya sedikitpun. Terang saja namanya juga sakit. Tapi mengingat perut tak boleh kosong, prinsip memaksakan kehendak wajib dilakukan. Butuh waktu dua-tiga kali lipat untuk sepertiga porsi saja, namun tak apa, yang penting sukses masuk perut dan tak kabur kembali ke luar. Lalu, obat, dengan sedikit ngeri tak boleh juga ditawar. Wajar kan orang sakit makan obat. Kalau sehat walafiat berani makan obat, itu namanya bingung, lihatlah, mungkin baju yang dikenakan barangkali posisinya terbalik (walah, logika macam apa itu, nggak nyambung banget kan? Ya, memang itu tadi kata sebagian kecil orang tua zaman sebelum merdeka dulu! Dan pastinya aku tak percaya sama sekali, walau bisa saja seseorang yang sedang bingung baju yang dikenakannya terbalik!) Selebihnya, merenungkan kenapa seseorang bisa sakit. Agar tak jadi sakit harus bagaimana. Setelah sembuh mesti bagaimana. Bla bla bla!
Ah, ternyata capek juga bicara ngalor-ngidul tak karuan. Stop dulu ya daripada diteruskan malah lebih menyebalkan Anda!
Terima kasih buat yang berkenan baca. Buat yang tidak berkenan baca, terima kasih juga. Pokoknya semua kebagian terima kasih, mumpung mengucap terima kasih masih boleh gratisan!