Ingat hujan, aku selalu terlempar ke masa silam kala bocah. Bermain hujan mengitari kampung. Tengadah dan meneguk kesegaran airnya. Tak takut petir walau kerap orangtua berteriak penuh kecemasan melihat kilat menyambar-nyambar. Saling memercikkan ke tubuh teman ketika menemukan kubangan berwarna kecoklatan, lalu tertawa-tawa girang, apalagi saat percikan tepat mengenai sasarn yang dibidik, wajah, misalnya, dan membuat sang korban gelagapan, wah luar biasa senangnya. Selalu aku menantikan hujan dan berharap akan datang lebih cepat agar tak tertinggal momen-momen indah itu.
Tapi itu dulu... saat aku bocah.
Sekarang. Tak kutemukan lagi keasyikan kanak-kanak itu di kampungku. Hujan sepertinya bukan sesuatu yang dinantikan, bahkan cenderung dihindari. Tak ada lagi kecipak langkah-langkah mungil membelah genangan air kecoklatan. Zaman memang berubah. Sering aku mendengar banyak ibu meneriakkan kata "pilek" di belakang kalimat bermakna hujan. Dan entah penyakit apa lagi yang berderet-deret diteriakkan dengan kegemasan. Tak jarang jeweran atau cubitan mampir ketika sang bocah nekad mencuri waktu untuk sejenak menyapa hujan dalam ketelanjangan. Namun, entah kenapa aku tetap saja merasa sangat kehilangan. Tak ada lagi kebandelan bocah menantang jilatan petir. Tak ada lagi perahu-perahu kertas diadu di sepanjang selokan berair deras. Tak ada lagi canda tawa bersahutan membelah riuh suara hujan. Tak ada lagi... Tak ada lagi...
Ah, masa kecil. Beruntung aku pernah menikmati keindahan itu. Meski dalam benak bocah-bocah masa kini tak ada lagi kisah itu, tak apalah. Sekali lagi, zaman memang telah berubah...
2 komentar:
Wah di moderasi nih, sensosr-sensor broooo.
Ingat gak shabis hujan-hujanan terus ngompol
wao .....sedang nostalgia rupanya, kalau saya dulu dibelakang perumahan IAIN Malang sekarang STAIN ya atau berubah lagi? selalu mancing belut disawah, sekarang tempatnya jadi kos-kosan dan perumahan yang padat!
Posting Komentar