Bang Iwan…
Maaf kalau saya sok akrab. Kita tak pernah saling kenal. Abang di sana, jauh. Saya di sini, di sebuah dusun terpencil yang dikelilingi bukit-bukit kapur. Namun seperti penikmat musik lainnya, saya sangat mengenal Abang lewat karya-karya Abang yang dahsyat itu.
Saat mengayuh sepeda ke tempat kerja, di benak saya selalu tergambar Abang tengah melantunkan lagu Oemar Bakri, Ah, sebenarnya saya malu mengutarakan hal ini. Saya adalah saya. Bukan sosok Oemar Bakri dalam lirik ciptaan Abang. Saya tak memiliki tas hitam dari kulit buaya. Dan yang pasti, saya bukan pegawai negeri, melainkan hanya pegawai “luar negeri” dengan gaji yang, alhamdulillah, selalu menyadarkan saya bahwa Tuhan Maha Kaya dan saya tak pernah meragukan kasih sayangnya kepada saya. Memang, kalau mau berhitung secara matematis saya pasti sudah mati kelaparan sejak dulu. Tapi nyatanya sampai detik saya masih bisa makan kenyang dan segar bugar. Benar kan, bahwa saya tak punya alasan untuk meragukan keadilan Tuhan? Oemar Bakri adalah energi yang tak pernah habis menyulut semangat saya, Bang. Terima kasih!
Bang Iwan lahir dengan nama Virgiawan Listanto, di Jakarta, 3 September 1961. Anak kelima dari sembilan bersaudara. Suka baca buku silat dan gemar melahap pisang Ambon. Abang menikah pada usia 19 tahun dengan Rosanna. Abang memang telah menancapkan karakter yang kuat sejak album pertama. Ratusan karya terus mengalir, solo maupun bersama grup. “Musik sudah jadi jalan hidupku,” kata Abang.
Banyak hal yang pernah Abang lontarkan di media massa hingga saat ini masih saya ingat dengan baik, karena saya selalu merekam kalimat-kalimat penting yang lahir dari kejujuran Abang. Di antaranya adalah pernyataan yang sangat menggelitik saat sebuah tanya tentang kemungkinan go international dilontarkan, Abang menjawab, “Ada!” Tapi untuk mengemis, nanti dulu. Artinya, bahwa Abang harus belajar bahasa Inggris, bahwa Abang harus memainkan ini-itu, Abang tak mau. Kenapa? India tak perlu pakai bahasa Inggris. Cina tak perlu pakai bahasa Inggris. Lagu-lagu Afrika bisa mendunia, walaupun terbatas. Wah, asyik banget, Bang. Benar juga ucapan Abang. Tak harus menjadi bule untuk bisa diterima bule, walaupun sebenarnya sah-sah saja. Namun pendirian Abang untuk tetap menjadi diri sendiri sungguh menyengat kesadaran saya.
Abang cuma ingin bahasa Abang didengar, karena bahasa itu yang bisa Abang hayati. Tanpa penghayatan, ya omong kosong. Abang bekerja saja. Kalau memang fibrasinya sampai ke luar, ke luarlah. Abang punya keyakinan itu. Dari dulu sampai sekarang tetap di sini tempat Abang. Mudah-mudahan bisa tembus ke luar negeri tanpa berubah posisi. Kalau Abang berubah, Abang takut tercabut dari akarnya. Karena informasi terbanyak Abang dapatkan di sini. Abang akan berusaha tetap di sini. Toh kita punya satelit, yang dapat menjangkau ke mana-mana.
Dunia tarik suara sudah Abang geluti sejak kecil. Lagu-lagu Koes Plus dan Panbers kerap Abang nyanyikan kala itu. Akibat ngamen sejak di bangku SMP, membuat sekolah Abang berpindah-pindah. Tamat SD di Jakarta, masuk SMP di Bandung. Kemudian balik lagi ke Jakarta. Sempat mencicipi SMA di Yogyakarta, sebelum menyelesaikannya di ibukota pada 1979. Karena orangtua Abang, pasangan Haryoso dan Lies, mengharapkan Abang jadi sarjana, Abang memilih kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik, sembari terus ngamen. Album pertama, Oemar Bakri, 1981, membuat Abang popular. Dunia ngamen pun Abang tinggalkan. Popularitas dan kesibukan show membuat kuliah Abang terbengkalai.
Getir, Bang. Ironi yang paling getir memaksa saya terjerembab pada kubangan rasa malu. Kuliah saya, Bang. Remuk justru bukan karena popularitas dan kesibukan seperti yang Abang alami. Akan tetapi semata-mata karena sebuah kecerobohan, bahkan kebodohan dalam mencerna arti sebuah kesempatan emas. Walau sekian tahun kemudian saya bisa menebus kesalahan itu, namun tetap saja rasa bersalah tak pernah bisa dihapus dari ruang kesadaran saya.
Ya, sudahlah. Tanpa bermaksud membanggakan kesalahan, saya, walau getir, berusaha menerima itu semua sebagai pelajaran berharga. Pelajaran yang selalu saya sampaikan di hadapan anak-anak saya, para siswa, setiap saat saya mengingatnya. Bahwa kebodohan tersebut tak perlu terulang lagi pada siapapun.
Terima kasih, Bang Iwan. Abang adalah legenda sepanjang masa!