Oleh Ayah!
Maaf, Jeng Sri. Saya kurang tahu apa yang sebenarnya tengah menimpamu. Kata orang, lewat kabar dari televisi, koran, internet, radio, dan sebagainya, Jeng Sri tengah dalam sutuasi sulit, tersudutkan, dan itu pasti menyakitkan. Sekali lagi, maaf, Jeng Sri. Hal apa yang tengah bergelayut dalam hari-harimu kini saya tak banyak tahu. Dan, memang, saya tak berminat untuk mengetahuinya lebih jauh, sebab saya tak suka sama sekali kabar-kabar beraroma konflik atau perseteruan.
Mengapa demikian? Jawabannya, sederhana. Setiap hari saya sudah cukup kenyang (terpaksa) menyantap aneka hidangan konflik di warung kehidupan saya. Oleh karena itu, ketika membaca koran, menonton televisi, atau jalan-jalan ke warnet saya benar-benar tak ingin bersentuhan dengan hal apapun yang bermakna konflik. Saya hanya butuh yang indah-indah, yang manis-manis, dan bisa membuat rasa pahit dalam hidup saya mencair, lalu kembali ke rumah dengan perasaan lapang, meski bisa jadi esok hari akan mengunyah konflik-konflik berikutnya. Tak apalah, toh sebelumnya masih ada kesempatan mencecap rasa manis kehidupan.
Jeng Sri… Perihal diri dan kehidupanmu pun hanya sedikit yang saya ketahui. Namun, percayalah, yang sedikit itu semua adalah hal-hal indah tentangmu. Jeng Sri adalah perempuan hebat, yang terbukti layak disandingkan dengan perempuan-perempuan hebat lainnya di planet bumi ini. Sumbanganmu bagi kemajuan negeri ini pun tak perlu diragukan kualitasnya. Jeng Sri adalah segelintir dari jutaan perempuan yang telah berhasil membuktikan keperkasaan di tengah dominasi lelaki. Jeng Sri benar-benar Srikandi yang tak gentar menghadang rupa-rupa kepengecutan sekaligus kemunafikan yang tak henti-hentinya menampar wajah negeri ini, dengan senjata yang bahkan tak setiap lelaki perkasa memilikinya, yakni kecerdasan dan kejernihan bertutur, di atas kapal besar yang terus-menerus dihajar badai dan sewaktu-waktu bisa karam bersama paras lembutmu.
Sejauh ini semua memang masih samar. Kebenaran dan kesalahan masih tak jelas ditirai kabut tebal nan pekat. Tapi, tenanglah, Jeng Sri. Sekiranya kelak Jeng Sri dinyatakan bersalah, tak sedetikpun waktu saya untuk menyesalinya. Saya percaya di dasar lubuk hatimu tak pernah ada keinginan untuk meremukkan negeri ini. Saya percaya Jeng Sri pasti menganggap negeri ini sama berharganya dengan hidup Jeng Sri sendiri. Sebaliknya, seandainya kebenaranlah yang berpihak kepada Jeng Sri, berhati-hatilah, sebab bukan mustahil keberadaanmu sebagai insan berbudi akan terus diuji.
Selamat berjuang, Jeng! Bagi saya, jika benar semua gading retak, retakan pada sebagian sisi hidupmu memang bukan ornamen yang akan mempercantik tampilanmu. Paling tidak, retakan itu akan menjadi saksi abadi ketidaksempurnaanmu sebagai manusia biasa. Semoga kita semua senantiasa ingat betapa penting menjaga diri, dan tak enggan untuk sering berkaca, agar wajah kita selalu terlihat jelas perubahannya seiring berjalannya waktu.