Minggu, 12 Juli 2009

Yang Nyaris Hilang, Mutiara

Oleh Ayah

Tahukah kau, Mutiara. Cerita-cerita miris yang mengalir tanpa henti tentangmu adalah tamparan paling keras yang meremukkan sendi-sendi kebanggaan yang telah Ayah bangun untukmu. Kebanggaan itu, Mutiara, Ayah bangun dengan segenap keyakinan bahwa suatu saat kelak kau pasti mampu mengibarkan bendera kemenangan dan membuat setiap pasang mata yang melihatmu bertepuk girang penuh sanjung untukmu. Namamu akan tergurat jelas di bentang luas cakrawala dan akan dibaca semua orang sepanjang masa. Kenangan manis tentangmu akan senantiasa hidup bersama denyut nadi waktu. Tapi coba kau lihat sekarang, mutiara. Cerita-cerita miris yang bergulir satu demi satu tanpa bisa ditahan itu, telah menggerus tiang-tiang kukuh penopang kebanggaan, dan perlahan ia merapuh. Apa yang terjadi padamu?

Selalu, tanpa henti, Ayah ingatkan kau untuk berjuang agar mata batinmu senantiasa terang tak tertutup oleh segala yang tersaji di sekelilingmu. Selalu, tanpa henti, Ayah berupaya mengalirkan kekuatan agar kau tetap berteguh hati dan tak larut dalam keinginan untuk terus-menerus mengeja nasib yang mengungkungmu. Dan kelak kau bisa menyadari bahwa memang tak perlu berhitung lagi tentang keadilan Tuhan kepadamu. Cinta tak pernah berpaling darimu, Mutiara. Kekecewaan yang kaumanjakanlah yang membuat seolah-olah cinta menjauh dan enggan bercengkerama denganmu. Ini, Mutiara, buah dari luka-luka yang kaubiarkan tertimbun dalam lubuk hatimu. Selama ini kauciptakan kesan seolah-olah semua telah termuntahkan. Tak putus kauukir senyum termanis untuk meyakinkan semua orang bahwa sebutir mutiara ini telah mengilat dan menampakkan pesonanya. Apa yang terjadi padamu, Mutiara? Apakah semua celah dalam hatimu benar-benar telah tertutup rasa putus asa?


Rasanya belum lama ya, Mutiara. Saat kau dan teman-temanmu menyimak cerita Ayah tentang dunia kanak-kanak yang indah. Dunia yang berjalan seiring waktu dan suatu ketika akan pergi meninggalkan kita, sebab di depan telah menunggu dunia yang sama sekali berbeda. Masih tergambar jelas dalam ingatan Ayah binar kedua bola matamu merekam setiap kata yang tercetus dari bibirku. Masih terngiang riang suaramu manakala sekalimat dua kalimat menggelitik simpul saraf tawamu. Ya, kau memang terlihat begitu ingin menikmatinya. Dan itu cukup melegakan Ayah.

Seolah baru kemarin Ayah dengar dari bibirmu cetusan harapan tentang indahnya masa depan. Juga keinginan untuk tetap bersama teman-teman sebab kausadari itu semua adalah bagian yang amat indah untuk terus kaunikmati. Adalah pilihan tepat membuat kemudaanmu tak terbujuk untuk melompati masa yang belum saatnya kaupijak. Toh, perjalanan sang waktu kelak akan mengantarmu juga ke sana.

Tapi sekarang? Suara polos yang semestinya masih membahana telah sirna terberangus badai hitam. Terjebak dalam tubuh mungilmu ruh api yang menjilat-jilat dan menghanguskan kesadaran kanak-kanakmu. Tak sadarkah kau Mutiara, saat ini kau begitu mencemaskan?

Cobalah kauhitung, Mutiara. Berapa banyakkah orang yang mengagumi anugerah kecerdasan dalam balutan parasmu yang menawan itu? Berapa banyak pula orang yang menyebutmu sebagai keajaiban di tengah ribuan kemanjaan di sekitarmu. Dalam dirimu terdapat banyak hal yang tidak dimiliki orang lain bahkan yang berusia lebih darimu. Jika kemarin waktumu selalu kaubawa dalam genggaman erat semata untuk membuktikan bahwa kekaguman mereka amat berharga bagimu. Mengapa sekarang waktumu lebih kerap berlabuh di tempat-tempat yang tak ramah padamu?

Apa yang kaumaknai sebagai kesenangan itu sesungguhnya cuma semu, Mutiara. Lihat teman-temanmu. Apa yang mereka lakukan ketika kau lebih memilih asyik dengan kesenangan di sana? Mereka tengah menikmati keriangan kanak-kanaknya. Mungkin sesekali mereka takut dengan jari telunjuk ayah bunda yang teracung dalam sorot mata tegas. Namun bukankah yang demikian jauh lebih cantik, daripada pilihan yang memaksa jari telunjuk itu tak sekadar teracung, melainkan singgah pada tempat-tempat yang semestinya menerima sentuhan penuh kasih sayang.

Dengar, Mutiara. Dengarlah tak hanya dengan telinga, tetapi juga dengan hatimu, dalam kesadaran yang terbebas dari selubung kabut pekat. Semua yang kaulakukan hingga hari ini adalah sebuah pertaruhan mahal. Jika kekalahan yang kaudapatkan nanti, bukan hanya kau yang merasakan pedihnya, semua orang yang menyayangi dan berharap sesuatu yang terindah darimu, juga akan merasakannya. Dan kenyataan itu akan terbawa selama-lamanya. Tak ada mesin waktu yang akan mengantarmu mengembalikan penyesalan.

Karena itu, Mutiara. Bangkitlah! Akan menjadi kemenangan paling mengesankan sepanjang hidupmu, manakala kau mampu mengangkat dirimu kembali ke dunia kanak-kanak yang telah sekian lama merindukan kehadiranmu. Banyak teman menunggumu di sana, untuk berbagi cerita, tawa canda serta kesenangan-kesenangan polos lainnya. Yakinkan dirimu bahwa kau adalah sebutir mutiara yang warna-wani sinarnya mendamaikan setiap orang yang menyayangimu. Biarkan kebanggaan mereka terhadapmu terus mekar dan berbuah manis.

Masih ada waktu, Mutiara. Kau memang telah kehilangan ribuan menit dalam kesia-siaan. Tapi tataplah ke depan, jutaan menit lainnya siap merangkul dan menyertai ke mana langkah indahmu menuju. Berjuanglah. Sebutir benih yang kini Ayah semaikan dalam hati Ayah adalah kerinduan suatu ketika nanti melihatmu melantunkan baris-barik lirik berikut dengan senyum termanis…

Akulah mutiara itu
dalam relung palung bumi
menghimpun rupa-rupa sinar
agar kelam yang menyesakkan
di atas sana
merengkuh hadirku nanti
penuh kehangatan
inilah janjiku pada hidup

Minggu, 24 Juni 2007, Pk.15.30

Tidak ada komentar: