Minggu, 21 Februari 2010
5 Hari
Lagi, terkapar tak berdaya. Tak kuasa menolak kuasa-Nya. Tak banyak bisa kulakukan hal berharga. Ya, begitu saja. Menatap langit-langit kamar yang semakin kusam disaput masa. Suhu badan lebih dari biasa, sangat tak nyaman terasa. Hehe, jadi aneh kalimat-kalimatku memaksakan diri menata segala yang berakhir "a". Sudahlah, apa adanya saja. Lha?! Hahahaha...! Aku tertawa walau badan sulit bergerak sempurna, sebab virus-virus di dalamnya masih asyik bercengkerama, tak peduli aku yang tengah didera siksa.
Tapi aku akan terus berusaha melawannya, karena kerinduanku kembali bekerja sudah terlalu mendera jiwa dan raga. Sekarang saja aku paksa badan jalan-jalan ke warnet demi melupakan derita. Sekaligus membiasakan diri lagi untuk siap beraktivitas seperti biasa.
Wahai, anak-anakku semua. Rindu ayah kepada kalian sudah seleher tingginya! Mungkin kerinduan yang sama tak pernah kalian rasa? Apakah sebab di kelas selalu ayah memaksa kalian bicara? Sehingga lebih nyaman bila ayah tak ada? Entahlah, hanya kalian yang bisa menjawab ini semua!
Selasa, 16 Februari 2010
Sepatu Pagi Itu
Himne Angkot Biru
Kali kesekian di leleh mentari
aku belajar tersenyum dan berdamai
dengan sebelah hati
meyakini angkot biru yang membawaku pergi
tengah menatapku teduh
seraya pelan bahuku ditepuk-tepuk
menyusul nasehat yang hanya bisa kudengar
dalam bilik batin
"kau bukan yang pertama, telah dan akan
ada berikutnya, lagi
dan lagi, tak habis-habis"
Aku mengangguk entah pada siapa
pastinya harus kubujuk benakku
akan fakta bak sinema
rupiah ongkos pergimu
tak selamanya bermakna hak duduk nyaman
kerap kau harus rela
hanya tulang ekormu tertitip pada kursi
yang sejatinya milikmu
sisa orang-orang di sebelahmu
yang membuai pantat mengangkang lutut
dengan nikmat!
Avontur Perahu
Perahuku masih tenang berselancar
membekal cukup kesadaran
seratus dua ombak
setia mengepung untuk sekali terkam
yang berbuah kandas
di ujung palung
Perahuku masih asyik berdansadansi
seiring surealistik gumam kecipak air
yang menyimpan gahar untuk seletus pekik
pemecah gendang
demi tuli akan merdu orasi lautan
Perahuku masih akrab
berbincang pada hati kecil
sementara gusar camar atas derum mesin
tetap kukuh menjaga ikan
dari ngilu tikam paruh berkilat
Perahuku terus merayap
lentur melantai tak putus kata
sampai nanti
bilah horison menjelma lambailambai
dan deret bibir kering
nan rindu mengecup tiang layar
penuh tulus
Kamis, 04 Februari 2010
Selasa, 02 Februari 2010
Setitik Embun
( kepada pahlawanku )
Buku-buku yang kausemat dalam lusuh tas itu
adalah saksi mati kecintaanmu pada dunia
pagi hari, sementara embun masih malu-malu
telah kaulapangkan jalanmu
menyongsong matahari
bergerak meniti jembatan berbatu
Sedang aku di sini
masih berkelana dalam rimba keengganan
sepanjang waktu
Semburat rona yang membuncah dari parasmu
menyiratkan betapa kau mencintai aku
melebihi hidupmu sendiri
namun selalu aku membantingnya
tanpa perasaan
hingga luruh engkau
dalam kecewa maha dahsyat
Di rumah aku memang remuk tak berbentuk
tapi mestinya tak di sini di depan ketulusan
yang kaupancangkan
mestinya kupahami engkau setulusnya
dari lubuk terdalam hatiku
Akankah ada maaf
setelah semua yang kuhamburkan ini?
Esok
tatkala fajar membuka mata
aku akan datang
meraih tanganmu
untuk kucium sepuasnya
jika itu mampu menghapus segenap dosa kemarin
Di sini
gerbang suatu pagi
aku hanya ingin menangkap senyummu
penuh cinta
dan menyimpannya dalam hati
selamanya
Langganan:
Postingan (Atom)