Kamis, 27 Mei 2010

Impian-Impian Kecil



(Dimuat di majalah Story edisi 10, April-Mei 2010)

Kepala Fitri tertunduk. Rambutnya yang panjang legam menutupi sebagian wajahnya. Selalu, tatapan lembut ibu meluluhkan hatinya. Fitri hafal kebiasaan ibu. Beliau tak akan beranjak sebelum segalanya menjadi jelas. Perubahan sikap Fitri akhir-akhir ini sudah lebih dari cukup sebagai alasan untuk menginterogasinya. Dan, tiga hari lalu Fitri tak kuasa lagi menutupi kisah yang dipendamnya rapat-rapat. Kini ibu telah tahu semuanya. Tapi naluri seorang ibu tak bisa dibohongi. Kisah yang disimpan putri semata wayangnya itu sesungguhnya belum tuntas.
“Percayalah, Bu. Fitri sudah memaafkannya…,” urai gadis itu sendu.
“Ibu percaya,” tatap ibu dengan senyum. “Tapi salahkah kalau Ibu ingin melihat segalanya kembali seperti dulu? Sudut-sudut rumah kita sepi tanpa dia, kan?”
“Lalu Fitri harus bagaimana lagi, Bu?” gadis itu bingumg.
“Temui dia, Nak. Ketulusan hati berbuat kebaikan semoga membuahkan kebahagiaan lebih buatmu.”
Sesaat Fitri bimbang. Namun senyum lembut ibu tak henti membujuknya.
***


Belum tiga langkah Fitri menjejak ubin keramik kamar luas itu. Gita menoleh, bangkit dari ranjang, lalu menubruknya dengan tangis keras. Fitri hanya membatu dalam pelukan sahabatnya. Dulu, sebelum peristiwa yang disebut Fitri sebagai “pengkhianatan tak termaafkan” itu terjadi, pelukan-pelukan seperti ini selalu menyegarkan persahabatan mereka. Cipika cipiki seraya tertawa-tawa. Celotehan yang tak habis-habis dalam tiap detik pertemuan, entah di rumah bak istana ini atau di rumah sederhana Fitri, di sekolah, di mana pun. Sekarang terasa sangat hambar. Mengingat nama Gita saja sudah sangat menyakitkan, apalagi sampai bersentuhan begini. Ingin ia mendorong tubuh Gita sampai cewek itu terjengkang dan terbentur dinding atau meja hingga berdarah-darah, namun selalu wajah ibu mematikan dendam itu.
Ia memang sudah mencoba memaafkan kesalahan Gita. Ia hanya belum sanggup melupakan semuanya. Karena itulah Fitri belum punya kekuatan untuk bertemu. Kalau saja ibu tidak membujuknya, mungkin ia masih berkeras dengan sikapnya. Sejak skandal menyakitkan itu terbongkar, Fitri benar-benar muak melihat tampang Gita. Hantaman keras benar-benar melukai kepercayaannya. Berbulan-bulan ia menangis setiapkali mengingat kejadian itu. Bujukan ibu-lah yang akhirnya sanggup mencairkan sebagian kebekuan hatinya.
Praktis sejak kejadian menyebalkan itu, Gita tak pernah lagi dolan ke rumah, padahal biasanya hampir tiap hari ia muncul entah untuk minum es campur, membantu Fitri dan ibunya membuat kue dagangan, memijit pundak ayah Fitri saat lelaki yang mulai keriput itu pulang dari menyapu di pasar, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Dari situlah kecurigaan ibu bermula.
Malam ini, setelah berbulan-bulan Fitri enggan bertemu Gita. Seperti hendak berkenalan dengan sosok baru saja, rasa canggung terasa sulit disembunyikan.
“Mestinya nggak kulakukan kebodohan itu, Fit…” cetus Gita di sela tangisnya, sembari terus berdiri memeluk tubuh Fitri. Sampai pundaknya basah oleh airmata Gita, Fitri tetap diam. Ia mendengar semua ucapan Gita, namun pikirannya melayang jauh. Kau bukan hanya bodoh, Git, tapi juga gila. Ketakwarasan membuatmu gelap mata dan lupa bahwa sosok di hadapanmu adalah sahabatmu sendiri, maki Fitri dalam hati. Gita tahu liku-liku kehidupan keluarga Fitri. Ia juga tahu semua impian kecil gadis berparas lembut itu.
“Aku ingin sekali, Git, mengubah tembok kusam rumahku menjadi lebih sedap dipandang,” cetus Fitri suatu ketika. “Aku juga ingin mengganti kasur tipis di kamarku. Beli pakaian baru, sebab pakaian lamaku hampir semua telah usang dimakan waktu. Aku ingin punya tas sekolah baru. Sepatu baru …” sambungnya dengan mata berkaca-kaca. Saat itu Fitri melihat Gita mendengar semuanya dengan mata berkaca. Tampaknya ada keharuan menyusup dalam aliran darahnya. “Tapi kenapa di kemudian hari kau malah berniat menghancurkan aku?” ratap Fitri.
Sesak dada Fitri mengingatnya. Sampai Gita menyilakan duduk di kursi belajar yang empuk, Fitri masih belum berucap sepatah katapun.
Berada dalam kamar Gita, Fitri serasa tenggelam dalam lautan kesejukan. Tak habis kekaguman akan isinya yang nyaris tanpa cela. Dinding halus berwarna merah jambu. Springbed yang selalu siap mengantar pemiliknya ke istana mimpi-mimpi indah. Lampu kristal yang tergantung manis di tengah plafon jati berukir, Fitri kerap menikmati keindahannya sembari terlentang di ranjang Gita manakala sempat bertandang di waktu senggang. Sementara di meja berdiri gagah sebuah lampu belajar. Dan perangkat audiovisual yang nongkrong di salah satu dinding kamar menghadap tepat ke ranjang harganya pasti selangit. Belum lagi dua buah lemari kokoh berisi aneka busana mahal yang sebelum usang pasti segera muncul penggantinya. Semua, yang bagi Fitri mustahil terwujud dalam tempo singkat, bukan lagi impian bagi Gita. Lantas apa untungnya mengusik impian-impian kecilku, sedangkan untuk meraihnya aku nggak ubahnya memeras keringat darah? Fitri terisak lirih.
Gita beranjak ke meja belajar setelah tangisnya reda, jongkok membuka tiga buah laci dan mengeluarkan semua isinya. Mata Fitri terbelalak. Novel sebanyak itu! Fitri kaget luar biasa. Sejak kapan anak ini suka baca? Bertahun-tahun persahabatan itu terjalin Fitri tahu benar, Gita sangat membenci buku-buku fiksi. Bahkan sering ketika tahu Fitri sedang membaca cerpen atau novel yang dipinjam dari teman-teman lain, Gita menggodanya dengan merebut bacaan itu dan menggantinya dengan permen atau apalah seketemunya lalu memakainya untuk kipas-kipas badan. Sekarang?
“Lihat, Fit,” ujar Gita seraya meraup novel-novel karya pengarang ternama itu lalu menjatuhkannya di atas tempat tidur. “Mestinya aku pinjamkan kepadamu, ya. Atau memberikannya setelah kubaca, sebab kamu pasti membutuhkannya. Tapi aku lebih suka membiarkannya menumpuk di sini. Kau tau kenapa, Fit? Karena kupikir, dengan membacanya pengetahuanmu bakal bertambah, dan kemampuanmu menulis akan makin terasah. Lantas semua orang akan terus memuji bakatmu. Kamu bakal tambah populer di mata siapapun. Kamu…”
“Kamu salah, Git,” penggal Fitri. Sesuatu bergolak dalam dadanya. Seringan itu Gita bicara tentang popularitas yang dalam mimpi pun Fitri tak pernah berani menghadirkannya, sebab alangkah mustahil impian setinggi itu terwujud dalam upaya tertaih-tatih begini. Ooh, jadi, Gita takut aku menjadi terkenal dan mendapat banyak pujian? Anak ini benar-benar keblinger otaknya. “Aku menulis nggak untuk cari pujian, Git. Aku cari uang. Kamu sadar nggak sih? Aku cari uang!” Sampai di situ tangis Fitri meledak. Kemarahan yang tak pernah bisa dilampiaskan dalam tindakan itu telah berubah menjadi deru tangis tak tertahankan. Gita meraih jemarinya, tapi Fitri menepisnya. Hingga belasan menit kemudian waktu hanya milik Fitri untuk menuntaskan gejolak batinnya yang teraniaya kenaifan sahabatnya.
Selama itu Gita tak lepas menatap Fitri dengan tangis tertahan. Ketika Fitri kembali tenang, Gita beranjak lagi ke salah satu sudut kamar. Menyentuh seperangkat komputer yang selalu menemani waktu luangnya sepulang sekolah. Fitri kerap mencicipinya untuk main game.
“Fit, benda ini nggak cuma kupakai membunuh waktu. Aku ingin bisa seperti kamu, menjadi penulis cerita. Berulang aku mencoba namun selalu gagal. Entah apa yang kurang.”
Itu nggak seberapa, Git, batin Fitri ngilu. Kau tinggal minta berapapun uang yang kaubutuhkan. Komputer ada. Sedangkan aku harus menyisihkan uang jajan, uang belanja ibu, bahkan sebagian modal jualan es campur, untuk keluar-masuk rental komputer dan ongkos kirim naskah.
“Kegagalan membuatku gelap mata, Fit,” ujar Gita tersendat. “Niat buruk itu muncul tanpa bisa kucegah. Aku harus menghancurkan impianmu, sama seperti aku mendapati impianku remuk lebih dulu.”
Impian?! Dengan berurai airmata, Fitri menatap Gita penuh tanya. Gita telah memiliki semuanya. Istana dengan segala kemudahannya. Kenyamanan hidup yang kerap membuat orang lain merasa iri. Bahkan jauh sebelum tangis pertamanya lahir ke dunia mengoyak keheningan. Masih perlukah ia bicara tentang impian?! Sungguh, Fitri kesulitan mencerna pengakuan Gita.
“Benar, Fit? Sepertimu, aku juga punya impian-impian kecil?” Gita menatap sendu. “Sejak lama aku ingin dinding kamar ini berhias gambar-gambar yang dibeli dengan jerih payahku sendiri. Aku ingin memenuhi kebutuhanku sendiri. Aku ingin punya sesuatu yang bisa dibanggakan di depan keluargaku dari hasil keringatku sendiri. Kau pikir aku puas dengan ini semua? Sama sekali nggak, Fit! Makin sadar begitu mudah aku mendapatkan semua, makin hampa rasanya. Semua ini terasa hambar, datar, nggak nikmat karena aku tak perlu berjuang untuk meraihnya.”
Fitri menggeleng lemah. Ironis! Selama ini ia kerap membayangkan alangkah nyaman hidup menjadi seorang Gita.
“Mestinya aku berlapang dada melihatmu berhasil ya, Fit…”
“Berhasil katamu?!”
“Kau sudah jadi penulis…”
“Baru pemula, Git,” ralat Fitri. “Nggak setiap cerita yang kukirim bisa dimuat. Aku belum masuk daftar penulis yang karya-karyanya selalu ditunggu. Masih jauh. Bahkan honor yang kuterima belum impas dengan biaya yang kukeluarkan. Begitu kamu sebut berhasil? Aku nggak tahu sampai kapan harus tertatih-tatih seperti ini.”


Gita merosot ke lantai. Menangis lagi. Penyesalan membuncah tak terbendung mendengar penuturan sahabatnya. Ah, masih layakkah aku disebut sahabat? Aku tak ubahnya seorang pembunuh berdarah dingin, membuat Fitri mati pelan-pelan meninggalkan semua impian-impian kecilnya. Sekarang masih bermaknakah persahabatan yang terjalin sejak kanak-kanak ini?
Masih jelas dalam ingatan Fitri. Suatu hari di bawah pohon jambu di sisi kiri rumahnya. Ia menitipkan sebuah amplop besar berisi lima buah cerpen karyanya kepada Gita untuk diposkan. Kebetulan Gita hendak melintas di kantor pos. Beberapa bulan kemudian baru terungkap. Gita bukan cuma tak mengeposkan amplop tersebut, tapi diam-diam juga menghancurkannya. Fitri percaya ketika Gita bilang bahwa tanda terima kilat khusus yang dibawanya hancur akibat hujan deras sepanjang perjalanan pulang bermotor. Bahkan gadis itu sempat menghiburnya dengan kata-kata manis, cerpen-cerpen itu pasti dimuat. Nyatanya…
“Cerpen-cerpen itu lama kusimpan, Fit. Kubaca setiap hari. Kupelajari baris demi baris. Siapa tahu kelak aku juga bisa membuat karya-karya sebagus itu. Tapi ternyata nggak segampang berangan-angan. Cerpen-cerpen yang kukirim ke beberapa tabloid dan majalah remaja nggak ada yang lolos. Lalu dalam keputusasaan kuhancurkan karyamu.” Sayangnya Gita teledor. Ada potongan kertas yang luput ia musnahkan, sampai tiba-tiba Fitri muncul dan menemukannya di kamar ini.
Gita bertutur panjang. Fitri diam menerawang. Jauh…
Fitri terkejut saat Gita meraih tangannya dan meletakkan sesuatu di atasnya.
Amplop berisi sejumlah uang!
“Untuk apa ini?”
“Mestinya cerpen-cerpenmu sudah dimuat, Fit, dan kamu terima jerih payahmu. Dengan uang ini kamu bisa mewujudkan impian-impian kecilmu.”
Fitri memejamkan mata. Kepiluan bertubi-tubi menghentak hatinya. Aku memang butuh uang, Git, pekik hatinya. Tapi menganggap uang ini seolah-olah honor yang kuterima, sementara cerpen-cerpen itu jangankan dimuat, dikirim pun belum…
“Percaya padaku, Fit…” bujuk Gita. “Cerpen-cerpen itu pasti lolos seleksi.”
“Tapi aku belum mengirimkannya, Git.”
“Anggap saja sudah dikirimkan.”
Fitri menggeleng. “Aku nggak mau berhutang.”
“Kamu nggak berhutang, Fit. Ini kompensasi dari perbuatanku. Aku ikhlas memberikannya. Nggak bolehkah aku menebus kesalahanku?”
“Dengar, Git. Ini sama sekali bukan soal uang…”
“Tolong, Fit. Terimalah. Biar aku lega…”
“Apa katamu?!” Fitri menatap gusar. Entah kenapa di titik ini Fitri seperti tersulut kobaran api. “’Biar aku lega’, katamu?!” jeritnya. Kalimat terakhir Gita telah membakar kesabarannya. “Kamu bisa merasa lega setelah uang ini kuterima?! Lalu masalah ini selesai begitu saja? Begitu kan maksudmu? Kamu benar-benar nggak berperasaan, Git?” murka Fitri. “Setelah kamu retas jalinan persahabatan kita. Sekarang, segampang ini kamu mau membeli kegelisahanku, kemarahanku, kekecewaanku?! Aku percaya, kalau kamu mau, kamu bahkan bisa membeli dunia ini sekalipun. Tapi tidak impian-impianku, Git. Kamu bisa ngerti perasaanku nggak sih? Sakit, Git, sakit!”
“Fitri maafkan aku!” Gita menangis lagi. “Aku nggak bermaksud membeli harga dirimu. Aku juga nggak berniat menyelesaikan masalah dengan cara segampang ini. Aku bingung. Aku nggak tahu harus berbuat apa untuk menebus semuanya…”
Rentetan kalimat yang diucapkan Gita tak ubahnya sembilu mencabik hati Fitri.
“Aku juga tahu, Fit. Persahabatan kita sudah hancur. Sampai kapanpun kamu nggak akan bisa memercayai aku lagi. Di matamu aku adalah makhluk jahat yang nggak termaafkan. Katakan, berapa lama lagi aku harus menanggung semua ini? Hukum aku, Fit. Jangan siksa aku dengan sikap diammu. Aku tahu, hukuman sepedih apapun nggak akan mampu menghapus kesalahanku begitu saja. Semua akan selalu teringat sepanjang hidupku. Tapi aku mohon, jangan diamkan aku. Aku butuh kamu. Kamu sangat berharga bagiku…”
“Sulit, Gita. Sulit bagiku melupakan semuanya,” lirih Fitri.
Maafkan Fitri, Bu. Fitri belum bisa, batinnya. Bayang wajah ibu membuatnya makin kalut.
Fitri berdiri setelah meletakkan amplop di tangannya ke pangkuan Gita. Ia tak bisa berucap apa-apa lagi. Hati nuraninya menolak pemberian Gita. Namun tatkala menyadari bahwa ia harus mengirim ulang cerpen-cerpen itu, dan harus menunggu dengan gelisah sekian bulan lagi, sementara impian-impian kecil itu tak henti-hentinya menggeliat dalam tidurnya…
“Fitri, tunggu...” Gita meraih tangan sahabatnya.
“Lepas, Git!” Fitri menepisnya.
“Maafkan aku…”
“Aku sudah memaafkanmu!”
“Belum, Fit. Kau masih membenciku…”
“Ah, sudahlah!” ketus Fitri. Melanjutkan langkah.
“Fitri…tunggu,” ucap Gita tersekat tangis, putus asa.
Sampai di ambang pintu kamar Gita. Fitri mendengar suara berdebum di belakangnya. Reflek ia menoleh.
Gita ambruk. Tubuhnya tergeletak di lantai. Pingsan!
“Gita!” Fitri melompat, meraih tubuh gadis berlinang airmata itu dan meletakkan wajah pucatnya di pangkuannya. Tangisnya pecah lagi. “Bangun, Git. Bangun!” Dibelainya wajah Gita.
Hati Fitri teriris. Apa yang telah kulakukan hari ini? Tuhan, bantu aku menjawab semuanya!
“Fitri…” Dalam kekalutan, tiba-tiba perkataan ibu sesaat sebelum ia beranjak ke rumah Gita, terngiang kembali. “Ibu nggak perlu lagi bicara tentang kebenaran dan kesalahan di depanmu, sebab ibu yakin kamu sudah sangat memahaminya. Satu hal saja ibu ingin kau terus ingat sampai bertemu Gita nanti. Bahwa memaafkan, memang nggak semudah meminta maaf. Gita adalah sahabatmu, belahan jiwamu. Hubungan kalian adalah sebuah keajaiban, dua hati beda nasib, bisa lekat menyatu sekian lama. Ibu mohon, cobalah sekali saja merasakan berada pada posisi Gita. Semoga dengan itu kamu bisa menemukan pilihan terindah.”
Lama Fitri tersedu sambil terus merangkum wajah Gita dalam dekapannya. Sangat erat.
Selesai

(Bingkisan kecil buat Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) Kalipare, dan SMP-SMA Jenderal Sudirman Kalipare Kabupaten Malang, tempat aku sangat menikmati hari-hari sebagai Pelayan!)

5 komentar:

Intan mengatakan...

halo...salam kenal, yah. saya udah baca lho cerpennya di story edisi lalu. bagus! simple but sure!
ngomong2,boleh saya tahu,gak,tanggal berapa anda nerima konfirmasi dari majalah story? ^^

Kediaman Ayah mengatakan...

Terima kasih komentarnya ya. Baru sebatas itu yang bisa saya tulis. Inginnya sih nulis yang hebat-hebat.
Konfirmasi saya terima kira-kira satu bulan sebelum dimuat.

Kediaman Ayah mengatakan...

Intan, maaf,lupa,salam kenal balik ya! Makasih!

JOLA76 mengatakan...

persahabatan mereka terjalin kembali nggak ya???

Nyach mengatakan...

saya taunya di sini kalau sudah dimuat di majalah story, selamat ya yah.
jujur saja sebenarnya aku iri, pingin bisa menulis yang enak dibaca kayak ayah