Jika telanjangiku membuatmu percaya diri
baiklah, silakan
gambar-gambar bernuansa gelap berjajar rapi
di tiap inci keriput kulitku
potret segera, lalu kabarkan ke penjuru dunia
maka aku 'kan terkenal dan dicari
Coba lihat pedangmu, lihat tak cukup hanya tajam untuk dihunus di hari pertempuran sengitmu nanti Sederet ajar selalu kugelar pada tiap jeda saat kaubasuh bercak kering darah dari latih laga sambung menyambung besar kecil gurat lukalukamu adalah ujud seberapa lincah juga kautarikan senjata dan hadang segala rintang
Bersiaplah!
Kini aku tinggal melambai di puncak terjal gemerlap harap demi bulir kemenangan
Tentu kau tak perlu tahu sebelah tangan di punggungku menggenggam gemetar bendera sangsi bagimu, yang berangkat dengan pedang berkarat
Jangan lagi tanya, aku tak tahu segala bisa terjadi segala bisa berubah, mencabikcabik keyakinan apakah nanti akan ada bahu untukmu mengisak dan lepas sesal kala lesat tombak menancap tepat di uluhatimu
Kenapa tergesa kurasa kau perlu istirah beberapa lama memanja diri, bukti hormatmu pada raga coba kaudengar segala lara dari lebam otot yang kaupaksa mengejang entah berapa lama Manis gula pada kental kopi pun tersia apa lagi sepiring goreng nasi yang disangrai cinta selalu hilang hangat
Waktu terlalu perkasa kauajak berlomba tuan ya, tentu saja. ia tak kan pernah menua
Kalau kau merasa menang, itu salah karena sesungguhnyalah engkau kalah dan gemuruh sorai yang kau dengar hanyalah pengantar kata untukmu terima medali hitam kematian nurani
Maaf... jajaran jati-jati meranggas sepanjang lembah bukan dosa kami bingung cuaca hingga siklus metamorfosis terpangkas juga bukan sebab pasti kami naik daun kini Bertanyalah pada hantu-hantu gentayangan yang tak pernah takut sengat matahari yang dari mulutnya meleleh ludah bernanah dari leluka kunyah berjuta pohon belia
Kalian akan dengar jawaban lugas tentang rencana peremajaan yang absurd tentang tuli telinga dari jerit pedih kala jarum berkarat menusukkan cairan mematikan pada kulit-kulit muda tak berdosa
Berbondong ke sini apakah kami salah toh ketika racun merambat ke atas seluruh daun akan mengering lalu luruh
Ketahuilah kami datang bukan sekadar menghenti lapar dan melepas lambai bagi sahabat yang sekarat lebih dari itu kali terakhir kami menatap kelok jalan yang entah berapa lama bisa tahan setelah akar yang teranyam kokoh sepanjang punggung mengering punah, ketika badai bertubi menggerusnya nanti
Selamat tinggal. biarlah kami belajar bertapa di celah-celah lembab perut bumi dan terima kenyataan kan menjelma apa diri kami kupu-kupu kusam ataukah malah sosok asing tak bersayap
Denting piring itu nyaring nak meluruh tanya akan bahagia akan rindu akan sapa penuh senda bahwa itu semua ada tak terbantah Begitu dekat nak nyaris tak berjarak duduk pada ketinggian sama adalah nyata jernih kata mengalir tentang mimpi pagi
Kita adalah sejarah yang tak butuh darah untuk melegenda tapi rasa, yang semayam tenang di lubuk jiwa nyaring bicara menampak adanya tanpa berhitung kata
Kemarin nak adalah legenda yang terpahat pada buku abadi kesejatian rasa bergambar kita biru sampulnya melangkah menjelang terang masa
Pergi nak? aku melihat kata itu pada manik matamu yang memerah lelah kala berbelas jam tak kuizinkan kau lelap barang sedetikpun demi cerita-cerita seram perjalanan matahari di bentang langit aku hanya ingin kau tahu bisa saja ia tak kembali esok pagi mencahayai bumi Pergi nak? ah, jika itu pilihanmu aku takut kau benar-benar kehilangan cahaya yang kaubutuh sementara jalan yang membentang di hadapanmu terjal tak berujung
Pergi nak? apakah doa-doaku masih kauperlu? jika tidak ini saja terimalah usapan lembut pada rambutmu barangkali menyisakan jejak bahwa aku pernah menjadi bagian dari hari-harimu