Sabtu, 26 September 2009

Ketupat Oh Ketupat!

Lebaran hari ketujuh. Di kampungku pasti ada ketupat dan sayur. Aku paling suka lepet, saudara ketupat dan sayur yang selalu dibuat bareng-bareng, penganan terbuat dari beras ketan yang dibungkus daun pisang atau janur dan diikat kuat-kuat dengan tali lalu direbus sampai matang (kasihan ya, babak belur!). Rasa gurih dan asinnya entah kenapa jadi nyaman di mulut, sederhana tapi memikat. Selalu kurindukan. Tahun ini, seperti beberapa tahun sebelumnya, emakku tidak membuat ketupat cs itu terlalu banyak, ya cukuplah untuk syukuran di mushola dan dihantar ke beberapa kerabat.

Dulu, ketika aku kecil, terasa seperti ada kompetisi ketupat. Setiap rumah membuat dalam jumlah yang cukup besar karena targetnya memang harus cukup untuk dihantar ke rumah tetangga sekampung. Malam hari aku melihat dua meja besar di rumahku penuh sesak dengan ketupat. Lalu bisa dibayangkan kemudian, betapa tragis nasibnya, dimakan sampai perut meletus pun tidak akan habis, sementara penganan macam itu tidak mungkin bisa tahan berhari-hari. Ke mana larinya? Ke kandang ayam! Memang asyik melihat sekawanan ayam berpesta pora ikut merayakan Ketupatan. Namun di sudut hati ada perasaan getir tertinggal, berapa rupiah tersia-sia! Mau dibagi kepada siapa? Lha wong setiap orang juga melihat pemandangan yang sama di rumah masing-masing. Tapi, syukurlah, tahun-tahun berikutnya warga sudah mulai memahami hal ini. Kesepakatan dibuat. Masing-masing keluarga memang masak ketupat, tapi tradisi saling hantar dihapus, yang dipertahankan hanya selamatan di mushola. Maka selamatlah sekian rupiah di kantong!

1 komentar:

MONOKROM mengatakan...

Met lebaran Pak (mungkin agak terlambat, tapi tetap lebih baik daripada lupa), mohon maaf lahir bathin, semoga kita selalu sehat wal afiat lahir bathin, dilindungi, dikasihi, dipelihara dan diselamatkan Yang Maha Esa dunia akhirat, amien!
Saya juga punya pengalaman yang hampir serupa Pak. Dulu keluarga kami dan para tetangga juga melakukan hal yang serupa. Saling 'we-weh' ketupat kepada tetangga dan sanak saudara. Mereka juga melakukan kenduri ketupat yang mengundang tetangga dalam radius yang agak luas, sehingga melibatkan banyak tetangga. Akibatnya, terjadi limpahan tepo, lepet, lonthong dan ketupat di setiap rumah. Kehadiran makanan sehat tersebut juga cenderung mubadir karena kita suka merasa 'nek' dan hilang nafsu makan ketika melihat makanan dalam jumlah begitu melimpah, basi dech akhirnya.
Sama, kemudian seiring berjalannya waktu mereka mulai belajar untuk mengatasi masalah tersebut, dengan pertimbangan kondisi ekonomi yang semakin sulit, dan kerekatan komunalisme semakin merenggang efek dari moderinisasi yang menggiring semua orang untuk lebih efisien dan individualis, tradisi tersebut mulai bergeser.
Orang tidak lagi membuat kantong daun kelapa untuk kekupat sendiri-sendiri, karena juga tanaman kelapa sudah langka, mereka suka beli di pasar. Variasi dan jumlah bahan yang dimasak juga dikurangi. Pelibatan tetangga yang ikut kenduri juga semakin sedikit. tradisi 'we-weh' ke tetangga dan saudara juga dikurangi.
Sehingga lebaran ketupat yang biasanya jatuh pada hari ke-5 setelah lebaran, tidak lagi semeriah jaman dulu. Dan cenderung lebih simple, efisien dan simbolik. Itulah perubahan jaman, kita ikuti dan cermati plus-minusnya.